Negara
Sumatera Timur
Demonstrasi penduduk di Siantar untuk mendukung Daerah
Istimewa Sumatera Timur. Foto: www.gahetna.nl
Mengapa Negara Sumatera Timur dibentuk? Mengapa mereka tidak pilih
bergabung dengan Republik? Mengapa mereka menginginkan otonomi?
Jawaban atas pertanyaan yang memancar kuat dari masa lalu dan masa
kini tak pernah terbentang. Ini lantaran semua pendiri dan pemimpin masa itu
sudah tidak lagi bersama kita. Tak pelak, kita harus mendasarkan diri pada
dokumen, foto-foto, atau dokumentasi tertulis lainnya. Untungnya kita memiliki
beberapa informasi dari buku-buku, dokumen-dokumen, dan foto-foto terbitan
Belanda. Dokumen yang ada di Indonesia memang sangat sedikit. Padahal, amatlah
besar minat dari generasi muda di Indonesia yang ingin mengetahui sejarah yang
sesungguhnya.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu menengok ke masa lalu,
yakni situasi setelah menyerahnya Jepang di Sumatera. Inilah masa dimana
terjadi kekacauan dan pembunuhan yang menunjukkan kurang pedulinya pemimpin
Republik Indonesia, jika tak dikatakan melakukan pembiaran, untuk mengendalikan
para ekstremis, para pemuda, kaum komunis, dan tentara.
Setelah Jepang menyerah, Negara Republik Indonesia (NRI) diproklamasikan
oleh Sukarno dan Hatta. Proklamasi ini dilakukan setelah pemimpin itu diculik
oleh beberapa pemuda yang tergabung dalam Angkatan Baru dan anggota gerakan
Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk Jepang.
Kita bisa katakan bahwa kecamuk itu faktanya adalah urusan orang
seberang, orang Jawa. Ada memang keterlibatan kaum republikan yang berasal dari
pulau-pulau lainnya, yang sebagian besar dari Sumatera. Namun, mereka terlibat
tanpa mandat. Pada masa itu, semua orang memang menginginkan kemerdekaan. Tapi
tak semua orang setuju dengan kaum republikan.
Mari kita mendedah fakta Sumatera yang terjadi kala itu.
Pada 22 Agustus 1945, Jepang membubarkan Heiho, PETA, dan Laskar
Rakyat. Sukarno harus membangun tentara nasional Indonesia baru (kebijakan
untuk perdamaian).
Pada 24 Agustus 1945, perjanjian antara Inggris dan Belanda
memungkinkan pemerintah sipil Belanda untuk bisa kembali berkuasa di bawah
komando sekutu.
Pada 3 September 1945, Laksamana Inggris Lord Louis Mountbatten
memerintahkan Marsekal Jepang, Terauchi, untuk membebaskan tawanan Republik
serta menjaga ketertiban dan perdamaian di Indonesia sampai kedatangan pasukan
sekutu.
Pada 5 – 10 September 1945, Recovered Allied Prisoners of War and
Internees (RAPWI) atau Tim Bantuan Pemulangan Tawanan mendarat di dekat
kamp-kamp Jepang di Sumatera untuk membebaskan tawanan sipil, pria, wanita, dan
anak-anak.
Pada 6 September 1945, protes secara formal dilayangkan oleh Lord
Mountbatten tentang pembentukan Negara Republik Indonesia (NRI).
Pada 7 September 1945, pengumpulan semua hulubalang Aceh di
Kutaraja untuk mengangkat Teuku Cik Peusangan sebagai pemimpin atau juru bicara
untuk kaum hulubalang.
Pada 7 September 1945, pembentukan Proletaris Asli Repoeblik
Internasional (PARI) oleh Tan Malaka, seorang Komunis Troskian.
Pada 10 September 1945, Jepang harus menyerahkan kekuasaannya
kepada pasukan sekutu, dan bukan untuk orang Indonesia.
Pada 28 September 1945, Lord Mountbatten memerintahkan Jepang
untuk tidak memberikan mandat kepada pihak Indonesia (Jawa). Sementara Aceh
sudah memiliki kepemimpinan republik.
Pada 2 Oktober 1945, tawanan perang Belanda pertama, yang disebut
Prisoner of War (PoW), kembali dari Singapura menuju Medan dan disambut hangat
oleh penduduk.
Pada 3 Oktober 1945, Jenderal Christison tiba di Padang dan
disambut oleh Mr. T. Hassan, seorang pemimpin Republik, yang menawarkannya
untuk membantu Inggris, dengan syarat pasukan Belanda tidak diizinkan mendarat.
Pada 5 Oktober 1945, pemimpin Pasukan Sekutu asal Belanda, M.J.
Knottenbelt tiba di Kutaraja, Aceh.
Pada 10 Oktober 1945, marinir Belanda tiba di Sabang, Aceh,
sebagai Allied Military Administration Civil Affairs Branch (AMACAB) atau
Militer Sekutu Urusan Administrasi Sipil. Ribuan buruh Indonesia yang bekerja
untuk Jepang dari Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli, dievakuasi dari Sabang.
Pada 10 Oktober 1945, Padang, Medan, dan Belawan diduduki
oleh pasukan Inggris. T. Hassan, pemimpin republik di Sumatera, menunjuk Medan
sebagai ibu kota dan membagi Sumatera menjadi sembilan kabupaten. Penduduknya
masing-masing ditunjuk seperti halnya penunjukan wali kota Medan, Bukit Tinggi,
Padang, dan Palembang.
Pada 10 Oktober 1945, Inggris dan Belanda setuju bahwa di
Hindia-Belanda kekuasaan Belanda akan diakui.
Pada 10-11 Oktober 1945, Brigade Jenderal Inggris, H.P.I.
Hutchinson, yang bertindak sebagai komandan wilayah Padang, mengadakan
pertemuan dengan para pemimpin terkemuka republik di Sumatera.
Pada 12-13 Oktober 1945, pasukan sekutu mendarat di Sumatera
Timur, sedangkan pasukan Belanda di Belitung, tepatnya di Tanjung Pandan.
Pertengahan Oktober 1945, istana Sultan Deli di Medan diberondong
tembakan.
Pada 15 Oktober 1945, seorang warga Belanda dan Swiss tewas di
Hotel Siantar.
Pada 21 Oktober 1945, marinir Belanda dan Netherland Indies Civil
Administration (NICA) menduduki Belitung, tepatnya di Tanjung Pinang.
Pada 23 Oktober 1945, pertemuan antara Ir. Sukarno dan dr. Van
Mook di rumah Jenderal Christison di Batavia (Jakarta).
Pada 28 Oktober 1945, Pemerintah Belanda menolak pertemuan
tersebut karena Sukarno dianggap sebagai kolaborator Jepang.
Pada 31 Oktober 1945, pertemuan informal Liuetenant Governor
General (LGG) dr. H.J. Van Mook dan Ir. Soekarno, termasuk dengan Ch.O. Van der
Plas, P.J.A. Idenburg, Drs Moh. Hatta, dr Amir Syarifuddin, R.A. Subardjo, dan
Haji Agus Salim.
Brigade keempat infantri Inggris menduduki Binjai dan Pangkalan
Berandan.
Akhir Oktober 1945, NICA dimasukkan dalam AMACAB. Artinya NICA
sudah tidak ada lagi.
Kiri-Kanan: Ass. Residen A. Schuyff, dr. T. Mansoer, dr.
J.J. Van de Velde, dan Kol. P. Scholten (waktu itu belum jenderal), di Siantar.
Foto: www. gahetna.nl
Pada November 1945, para agitator republikan pertama dari Jawa
tiba di Sumatera. Mereka mengklaim bahwa mereka tidak ada maksud untuk berhadapan
dengan pasukan Inggris dan Tim Bantuan Pemulangan Tawanan (RAPWI) di Padang dan
Medan.
Pada November 1945, orang-orang Aceh menyerang gudang amunisi
Jepang. Inggris memerintahkan Jepang untuk meledakkan gudang tersebut.
Pada 1 November 1945, pertemuan antara Belanda dan delegasi
Indonesia di rumah Jenderal Christison. Delegasi Republik Indonesia yang
dipimpin oleh Sutan Syahrir melakukan upaya diplomasi agar partai-partai
politik diizinkan berdiri.
Pada 2 November 1945, Perdana Menteri Belanda, Ir. Schermerhorn,
dan menteri luar negeri meminta dr. Van Mook (oleh sebab pertemuannya dengan
Sukarno pada tanggal 31 Oktober 1945) dipecat. Tapi, permohonan itu ditolak
oleh Ratu Belanda, Wilhelmina.
Pada 9 November 1945, Abdoel Kasim, seorang komunis, diangkat oleh
Sukarno sebagai warga Sumatera. Markas besar Komite Nasional ditempatkan di
Medan dengan T. Hassan sebagai ketua.
Pada 10 November 1945, Inggris memerintahkan untuk menarik Anglo
Dutch Country Section (ADCS) dari Sumatera. Protes dilayangkan oleh Kepala
Komandan marinir Belanda, Helfrich. Mayor Knottenbelt dan pasukannya kembali
dari Sabang menuju Medan.
Pada 13 November 1945, seorang republikan warga Palembang, Dr A.K.
Gani, ditunjuk oleh Sukarno sebagai pemimpin Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
wilayah Sumatera.
Pada 13 November 1945, Ketua Komite Nasional, T. Hassan,
digantikan oleh dr. M. Amir.
Pada 13 November 1945, sekitar tiga ribu pasukan Inggris mendarat
di Padang dan Palembang.
Pada 16 November 1945, Pemuda Republik Indonesia (PRI) bersalin
nama menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dengan dr. Pringadi sebagai
pemimpin mereka untuk wilayah Sumatera.
Pada Desember 1945, Perang sipil di Aceh antara Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA) dan hulubalang (pihak yang pro Belanda). Keluarga
hulubalang banyak yang dibantai.
Pada 2 Desember 1945, dua marinir Inggris dibunuh di Padang.
Pada 3 Desember 1945, seorang Mayor Inggris dan perawat dibunuh di
Medan. Ada juga penyerangan terhadap tentara Inggris di Sungai Bromas.
Pada 6 Desember 1945, Inggris mengizinkan pasukan Belanda masuk ke
Indonesia.
Pada 14 Desember 1945, terjadi serangan di bandar udara Jepang di
Bireueun oleh orang-orang Indonesia yang tersingkir. T. Nyak Arif (seorang
hulubalang), warga republik di Aceh, dienyahkan karena “masalah penyakit”. Ia
meninggal pada 6 April 1946 di sebuah kamp republik. Penggantinya adalah T. Cik
Muhammad Daud Syah, yang awalnya menjabat secara ad interim dari 14 Desember 1945 – 6 April 1946, hingga menjabat penuh.
Pada 22 Desember 1945, pasukan Jepang tiba di Langsa, Lhokseumawe,
Peureulak, dan Sigli (Aceh). Pasukan Jepang banyak yang terbunuh di sana.
Pada 31 Desember 1945, delegasi republikan Sumatera kembali dari
Jakarta.
Pada akhir Desember 1945, seorang missionaris Denmark dan lima
tentara Jepang dibunuh di Tebing Tinggi, sekitar tujuh puluh kilometer dari
Medan. Sebagai balas dendam, Jepang membunuh empat puluh orang Indonesia.
Pada Januari 1946, terjadi kerusuhan di Aceh dan di seluruh
Sumatera. Pasukan Jepang diperintahkan oleh sekutu untuk memulihkan perdamaian.
Kaum republikan Aceh menyatakan perang melawan feodalisme.
Pada 17 Januari 1946, kepala komandan untuk lima peleton tentara
Jepang di Sumatera, Letnan Jenderal Moritake Tanabe, menyatakan menyerah secara
resmi kepada komandan pasukan sekutu di Sumatera, Mayor Jendral HM Chambers.
Pada 4 Februari 1946, sebarisan jenderal masuk ke Sumatera dengan
dipimpin oleh Mayor Jendral R.C.A. Hedley.
Pada 6 Februari 1946, gubernur republikan, Mr. T. Hassan,
membentuk ulang Batalion Deli di Brastagi dan akademi militer. Kemudian, ia
memulai turnya melalui Sumatera (seolah-olah Sumatera menjadi miliknya).
Pada 19 Februari 1946, para hulubalang dari 22 mukim-mukim di Aceh
yang tersisa beserta keluarga mereka melepaskan diri dari keanggotaan
hulubalang.
Pada Maret 1946, para hulubalang dan pasukan Tentara Republik
Indonesia di Aceh ditangkap oleh gerakan Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Kutaraja
diduduki oleh seribu anggota Persatuan Ulama Seluruh Aceh.
Pada 1 Maret 1946, Komando pasukan Belanda di Sumatera, termasuk
Bangka Belitung, dibentuk.
Pada 3 Maret 1946, anggota laskar Persatoean Perdjoeangan, yang
dibentuk oleh Tan Malaka, dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh menyerang istana
Sultan Deli. Mereka mengambil alih ladang minyak dan kebun karet.
Pada 3 Maret 1946, pasukan Inggris memporakporandakan pendukung
republik.
Pada 5 Maret 1946, Tentara Republik Indonesia, Laskar Merah, dan
Komisi Nasional Indonesia (KNI) mengambil alih kekuasaan di Sumatera Timur.
Menurut surat kabar di Indonesia, penguasa Sumatera Timur adalah Tentara
Republik Indonesia. Revolusi sosial dimulai. Banyak bangsawan meregang nyawa dengan cara yang brutal.
Kelak negara-negara di Sumatera Timur hancur. Yang paling berdarah adalah
Kerajaan Langkat dan Kerajaan Asahan.
Pada 17 Maret 1946, Tan Malaka dan para pemimpin komunis lainnya
dari Laskar Rakyat ditangkap oleh Republik Indonesia. Mereka dianggap tidak
setia kepada Republik. Demi alasan taktis, Jenderal Sudirman tidak ditahan.
Pada 18 Maret 1946, pasukan Inggris menyerang markas Tentara
Republik Indonesia di Medan. Banyak senjata, amunisi, dan dinamit ditemukan di
markas Tentara Republik Indonesia.
Pada 22 Maret, Tentara Republik Indonesia di Sumatera memindahkan
divisinya dari Kutaraja ke Bireueun. Hak-hak feodal dihapuskan. Banyak pemimpin
negara-negara kerajaan dan keluarga mereka dicopot dari jabatannya dan tewas.
Di mana-mana terjadi kerusuhan terhadap warga Tionghoa, pemogokan di
perusahaan-perusahaan Belanda, dan pembentukan Laskar Rakyat baru di Lampung,
Bengkulu, Riau, Bangka-Belitung, dan lain-lain.
Pada 23 Maret 1946, pemimpin Tentara Merah di Tanjung Morawa,
Teuku Haji Ibrahim, menyerukan perang melawan Inggris dan Netherland Indies
Civil Administration (AMACAB). Sebanyak dua ratus rakyat Aceh menyerang sebuah
pos Jepang di dekat Medan.
Pada 25 Maret 1946, warga China membentuk pasukan bela diri Tjong
Hoa Tjoeng Hoei, setelah sebelumnya terjadi pembunuhan terhadap warga China. Di
Medan ia bernama Po An Tui. Di Bagan Siapi-Api, komunis dan kelompok pro Tjang
Kai Tsjek bertempur bersama melawan Tentara Rakyat Indonesia dan kelompok
ekstremis, seiring dimulainya perang saudara di tanah air mereka, yakni antara
komunis dan Tjang Kai Tsjek.
Pasukan sukarela Batak mendukung Daerah Istimewa Sumatera
Timur dengan membela pribumi melawan ekstremis. Foto: www.gahetna.nl.
Seperti halnya orang Indonesia, sesungguhnya mereka semua sama.
Pada saat hari perayaan memperingati Sun Yat Sen, mereka memakai bendera China
(Tjang Kai Tsjek dan bendera komunis). Orang Indonesia memerintahkan mereka
untuk memancangkan bendera Merah Putih, dan mereka menolak. Karena itu, mereka
banyak yang dibunuh, kendati mereka mampu menghadang perlawanan orang
Indonesia.
Pada 27 Maret 1946, para pemimpin Persatoean Perdjoeangan dibentuk
di Medan dan dipimpin oleh seorang komunis bernama Abdoel Kasim (yang pada 9
November 1945 sudah diangkat Sukarno sebagai warga Sumatera).
Pada 4 April 1946, terjadi penembakan di Medan terhadap
orang-orang Manado dan Ambon. Hampir saja seluruh Sumatera Timur menjadi
wilayah Tentara Rakyat Indonesia.
Pada 17 April 1946, Komite Nasional Indonesia untuk seluruh
Sumatera dibentuk di Bukit Tinggi. Mr. T. Hasan diangkat sebagai ketua Komite
yang menghimpun 100 anggota. Keanggotannya terdiri dari 3 residen dan 1
gubernur, 9 dari Aceh, 20 dari Sumatera Timur, 12 dari Tapanuli, 20 dari
Sumatera Barat, 5 dari Riau, 4 dari Jambi, 15 dari Palembang, 5 dari Lampung, 4
dari Bengkulu, dan 2 dari Bangka Belitung.
Pada 18 April 1946, Sumatera dibagi menjadi tiga wilayah oleh lima
anggota Komite Nasional Indonesia, yaitu Mr. T. Hasan sebagai ketua Komite
Nasional Indonesia dan dr. Gindo Siregar sebagai wakil ketua.
Pada 20 April 1946, diadakan kongres Sumatera di Bukit Tinggi.
Komite Laskar Rakyat dibentuk di Medan, yang secara resmi menjadi ibu kota
Sumatera.
Pada 24 April 1946, diadakan pertemuan Komite Nasional Indonesia
di Bukit Tinggi. Kelompok Hizboellah, Laskar Rakyat, Muslimin, dan Sabillilah
bergabung bersama dan menggunakan nama Gabungan Tentara Islam Republik
Indonesia.
Pada 25 April 1946, Wakil Gubernur Sumatera, Dr. M. Amir,
melarikan diri ke wilayah Belanda.
Pada 29 April 1946, terjadi pertempuran di Tapanuli, Samosir, dan
Sidikalang antara 400 orang Aceh dan infiltran Batak dengan pasukan Inggris.
Pada akhir April 1946, Menteri Pertahanan Negara Republik
Indonesia, dr. Amir Sjarifuddin mengunjungi Sumatera sebagai anggota Republik
pertama dari pemerintah Republik Indonesia. Ia berhasil meyakinkan Mr. T.
Hasan, yang anti Sukarno, untuk setia kepada Republik. Ini satu-satunya jalan
yang memungkinkan bagi dr. Amir Sjarifuddin menjadi warga Sumatera seperti
halnya Mr. T. Hasan menjadi komunis.
Pada 6 Mei 1946, kelompok ekstremis menyerang kamp Helvetia di
Medan yang berlangsung selama dua bulan. Pasukan Jepang diserang.
Pada 27 Mei 1946, diadakan konferensi semua barisan kekuatan
Sumatera. Hasilnya adalah kesepakatan memerintahkan semua pasukan Inggris untuk
meninggalkan Padang. Hal ini juga merupakan permintaan dari Dewan Perjuangan
Pusat.
Pada 7 Juni 1946, Dewan Pertahanan Negara dibentuk bersama
pembentukan deputi lokal, yaitu Dewan Pertahanan Daerah di desa-desa, untuk
menyatakan darurat militer demi menghentikan kekejaman dan kebrutalan terhadap
penduduk China.
Pada 27-28 Juni 1946, terjadi kudeta oleh Tan Malaka.
Sukarno membentuk komite pertahanan di Siantar. Tan Malaka
ditangkap, namun dibebaskan oleh loyalis Tentara Republik Indonesia. Partai Komunis
Indonesia (PKI) mendirikan kelompok komunis pro Moskow untuk melawan kelompok
komunis Trotski Tan Malaka. Sukarno ditawan oleh tentara loyalis Tan Malaka.
Pada 27 Juni 1946, Sutan Syahrir diculik di Yogyakarta karena
hendak berkonsesi dengan Belanda. Tapi, ia langsung dibebaskan.
Pada 3 Juli 1946, Mayor Jendral TRI di Yogyakarta, Sudarsono,
berupaya mendesak Sukarno untuk mengundurkan diri.
Pada 19-20 Juli 1946, kelompok ekstremis memasuki Kepulauan Riau
dan Palembang.
Pada 22 Juli, terjadi pertempuran sengit di Medan antara pasukan
Inggris dan Indonesia.
Pada 1 September 1946, kelompok ekstremis menyerang kamp Polonia
Medan dengan granat tangan. Gubernur republikan, dr. Gani, mencoba mendamaikan
semua kelompok yang berada di Sumatera.
Pada 8 September 1946, Medan Timur diserang oleh Tentara Republik
Indonesia. Gerakan Persatuan Ulama Seluruh Aceh telah mengenyahkan seluruh
bangsawan Aceh di Aceh.
Pada 17-20 September 1946, di Bagan Siapi-Api terjadi pertempuran
antara Tentara Republik Indonesia dan warga China.
Pada 1-12 Oktober 1946, diadakan Konferensi di Pangkal Pinang
(Bangka) yang dihadiri delegasi dari kelompok minoritas, seperti China dan Arab
yang berada di dalam dan di luar wilayah Republik dengan Belanda, dalam rangka
menindaklanjuti konferensi Malino yang telah diadakan pada 16-24 Juli 1946.
Pada 10-12 Oktober 1946, pasukan Inggris yang berasal dari Wales
Selatan memasuki Medan dan menduduki kota.
Pada 17 Oktober 1946. Sebanyak dua puluh ribu warga China di Bagan
Siapi-api dikepung oleh orang Indonesia.
Pada 24 Oktober 1946, pasukan Belanda menggantikan pasukan Inggris
di Medan, Padang, dan Palembang. Pasukan Belanda dibawah komando Kolonel P.
Scholten tiba di Medan.
Pada 25 Oktober 1946, tiga peleton pasukan infantri Belanda
memasuki Medan dan serempak melakukan pertempuran dengan Tentara Republik
Indonesia. Pasukan het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) atau
tentara kerajaan Hindia-Belanda menggantikan Inggris di sebelah barat Kota
Medan.
Pada 28 Oktober 1946, pasukan Inggris digantikan oleh pasukan
Belanda di Palembang.
Pada 9 November 1946, Kabinet Republik memutuskan untuk membagi
Sumatera menjadi tiga provinsi.
Pada 18 November 1946, Belanda mengambil alih Medan.
Pada 25 November 1946, para pemuda menyerang empat brigade Infanteri
India (enam brigade dari Wales selatan) yang menduduki Brastagi.
Pada akhir November 1946, orang-orang Aceh menyerang Jepang dengan
sengit hingga Jepang harus menarik diri ke selatan sungai Simpang.
Pada akhir Desember 1946, Jepang diharuskan meninggalkan Aceh
Selatan.
Selama operasi pertempuran seluruh pasukan Inggris di Indonesia,
sekitar 620 prajurit dan perwira tewas dan sekitar tiga ratus orang hilang.
Pasukan Jepang kehilangan 717 tentara selama periode ini dan 205 hilang
(sebagian mereka bergabung dengan Tentara Republik Indonesia). Ada dua ratus
pasukan Belanda tewas dan atau hilang. Orang Indonesia kehilangan sekitar
12,500 orang dan hampir delapan belas ribu hilang (dibunuh oleh ekstremis?)
“Agresi” Belanda (1947 dan 1948) belumlah terjadi.
Penyingkiran Pribumi
Data-data tersebut tertuang dalam buku Nederlands Indie (1940-1946) oleh Jacob Zwaan, peneliti dari Rijks Instituut voor Oorlogsdocumentatie. Ia sendiri pernah menjadi tentara dari divisi Desember ke-7 (1946-1949). Banyak lagi data yang harus dibaca dalam Brieven uit Sumatra (Surat-surat Dari Sumatera) oleh dr. J.J. Van de Velde dan dokumentasi lainnya. Ini kiranya satu-satunya data tentang Sumatera dan bisa jadi begitu banyak serta terlalu panjang ceritanya untuk mengakses ke semua data. Keinginan saya hanyalah untuk punya jawaban perihal pertanyaan: mengapa Negara Sumatera Timur dibentuk?
Data-data tersebut tertuang dalam buku Nederlands Indie (1940-1946) oleh Jacob Zwaan, peneliti dari Rijks Instituut voor Oorlogsdocumentatie. Ia sendiri pernah menjadi tentara dari divisi Desember ke-7 (1946-1949). Banyak lagi data yang harus dibaca dalam Brieven uit Sumatra (Surat-surat Dari Sumatera) oleh dr. J.J. Van de Velde dan dokumentasi lainnya. Ini kiranya satu-satunya data tentang Sumatera dan bisa jadi begitu banyak serta terlalu panjang ceritanya untuk mengakses ke semua data. Keinginan saya hanyalah untuk punya jawaban perihal pertanyaan: mengapa Negara Sumatera Timur dibentuk?
Selama perjanjian Linggarjati, para pemimpin Indonesia, Soekarno
dan Hatta, tidak melakukan apapun untuk menghentikan pembunuhan, kekacauan, dan
pembakaran harta benda warga China. Sebaliknya, sebuah telegram dari Hatta
justru dicegat, dimana dia mengucapkan terima kasih kepada Mayor Bedjo dari
Laskar Pesindo yang terkenal karena ulah kacaunya di sekitar Medan. Tidak ada
gelagat untuk melindungi pribumi.
Pada 1 Agustus 1947, Deli Courant menyebutkan adanya demonstrasi massa dalam judul “Bevolking van
der Oostkust Sumatera wenst zelfstandigheid” (penduduk Sumatera Timur
menginginkan kemerdekaan), berdasarkan kesepakatan dari Linggarjati.
Sebuah komite lantas dibentuk untuk melindungi pribumi dan
kepentingan-kepentingannya. Mereka yang membentuk komite tersebut adalah T.
Hafas, dr. T. Mansoer, Mr. T. Dzulkarnain, Datuk Hafiz Haberham, Djomat Poerba,
Raja Sembiring Meliala, T. Malaikoel Bahar, Mr. Djaidim Poerba, Raja
Silimahoeta, Raja Kaliamsyah Sinaga, Madja Poerba, Anak Raja Panai, Orang Kaya
Ramli, dengan Djomat Poerba sebagai juru bicara. Keinginan mereka adalah
terwujudnya Daerah Istimewa Sumatera Timur.
Di Sumatera Timur, proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jawa banyak
dihargai, meskipun pribumi ditekan. Pribumi mengalami sedu sedan teramat
menyakitkan. Para penguasa republik di wilayah ini tampaknya orang-orang yang
hanya memperkaya diri. Semua perwakilan pribumi secara bertahap disapu habis dari posisi
pemerintahan. Di wilayah Melayu – Melayu disini tidak dalam artian tunggal –,
banyak non pribumi yang diangkat sebagai pejabat pemerintah.
Revolusi sosial menghasilkan begitu banyak pembunuhan, pembantaian, dan kekacauan.
Seorang menteri dari kalangan republikan yang tak punya portofolio dan wakil
gubernur Sumatera, yang berasal dari luar Sumatera, justru bertindak sebagai
promotor. Selama terjadinya revolusi sosial, ratusan orang-orang penting dan
intelektual Sumatra Timur dibantai dengan cara mengerikan. Kekacauan dan
penjarahan meledak. Ratusan pribumi ditangkap dan dijebloskan di kamp-kamp,
betapapun selama lebih dari satu tahun penyelidikan yuridis telah membuktikan
bahwa mereka tidak bersalah.
Pribumi mulai menyaksikan banyak penduduk hidup dalam kemiskinan
dan menderita kelaparan justru di wilayah yang begitu kaya. Itulah mengapa
orang Sumatera Timur, sesuai dengan prinsip dan kesadaran, sebagaimana yang
ditetapkan dalam perjanjian Linggarjati, menginginkan kemerdekaan.
Kondisi kaum bangsawan dan masyarakat Simalungun yang mengenaskan,
kecemasan orang-orang China dan India, serta orang-orang Indonesia yang
kelaparan dan merasa kecewa akibat republik, bisa jadi menjadi jawaban untuk
pertanyaan mengapa Negara Sumatera Timur didirikan.
Membentuk Negara Tanding
Kepala-kepala Departemen Negara Sumatera Timur pada 1948.
Foto: Dokumentasi pribadi Tengku Mansoer Adil Mansoer.
Saat revolusi sosial meledak, bangsawan dari negara Kesultanan
Asahan, dr. T. Mansoer beserta keluarga, melarikan diri ke wilayah Inggris. Dan
banyak kaum republikan, di antaranya Yamin Ginting dan Kolonel Simbolon, datang
menemuinya untuk menyatakan ketidaksetujuan pada revolusi sosial tersebut.
Apa yang mereka bicarakan? Untuk mendirikan negara, tak bisa
sekedar perencanaan jangka pendek, tetapi juga butuh kecakapan dan pengalaman
organisasi. Dan apakah dr. T. Mansoer memiliki pengalaman? Sebelumnya, ia
memang mendirikan Persatuan Sumatera Timur untuk melindungi penduduk Melayu dan
Simalungun dari para imigran, seperti China, Jawa, India, dan Eropa.
Pemimpin yang memiliki pengalaman dalam pemerintahan memang sangat
kurang di Sumatera. Orang-orang republikan Sumatera lebih banyak berada di
Jawa. Selain itu, kurang juga pemimpin yang memiliki karakter kuat yang dapat
mengendalikan pemuda, laskar, komunis, dan tentara.
Keputusan-keputusan selalu dibuat di Jawa tanpa konsultasi dengan
pribumi Sumatera Timur. Republikan tampak melanjutkan perspektif Belanda yang membagi
wilayah pendudukannya menjadi dua, yakni Jawa (Java) dan daerah terpencil (buitengewesten).
Akan tetapi, dengan pemimpin yang tidak cocok satu sama lain,
bagaimana dapat mengelola negara? Bagaimana mengurus rakyat? Satu-satunya hal
yang diperhitungkan adalah kebencian terhadap Belanda, Inggris, dan
ujung-ujungnya pada semua orang asing. Dan itu semua menandaskan bahwa akan ada
satu bangsa yang berpusat di Jawa yang mewarisi sistem Belanda. Ada banyak kaum
republikan yang menginginkan kemerdekaan mereka sendiri tanpa supremasi Jawa.
Dr. Van de Velde menyadari adanya keinginan untuk merdeka. Tetapi,
ia memandang bahwa Negara Sumatera Timur tidak mewakili seluruh Sumatera Timur.
Keinginan merdeka kurang lebih didukung oleh sekelompok kecil Melayu dan Simalungun,
yakni sekitar dua puluh persen dari populasi.
Pada 1930, ada 334.870 orang Melayu, 145.000 orang Karo,
Simalungun, dan 95.000 orang Batak. Tapi Belanda kemudian membawa 590.000 orang
Jawa (35 persen) untuk dijadikan buruh di perkebunan-perkebunan. Ada juga 74.000 orang
Batak Toba, 45.000 orang Mandailing, dan dengan angka yang hampir sama (45.000)
untuk orang-orang Sunda dan Minangkabau. Van de Velde khawatir jika dr. T.
Mansoer menjadi satu-satunya juru bicara Melayu dan Simalungun, betapapun ia
mendapat dukungan dari penduduk lain yang menginginkan perdamaian dan
kemakmuran.
Konsul Jenderal Australia, Mr. Eaton asal Inggris, Mr Lambert asal
Perancis, dan Mr. Raux telah menginspeksi Sumatera. Mereka mengunjungi banyak
kota untuk berbicara dengan penduduk. Di Binjai mereka bertemu T. Soeleiman
yang memberitahukan bahwa dirinya baru saja datang dari Namu Trassi, di mana
1300 orang Indonesia diselamatkan dari kekejaman laskar.
Mereka menemui tahanan dari Selosoh, sebuah desa yang telah
dihancurkan oleh ekstremis. Selama perjalanan, mereka mengadakan pertemuan
panjang dengan dr. T. Mansoer dan semua anggota komite untuk Daerah Istimewa
Sumatera Timur. Mereka ditanya apakah itu pilihan mereka atau keinginan
Belanda. Jawaban mereka bahwa gerakan ini telah didirikan secara rahasia,
dengan waktu yang amat panjang, demi mengakhiri dominasi Jawa. Itulah keinginan
mereka sendiri.
Pertemuan ini juga dihadiri oleh media, kalangan asing, dan
Indonesia. Dari kalangan pers, hadir Mohammad Said, wartawan republikan dari
koran Waspada.
Dr. Van de Velde juga memperingatkan Beel, Perdana Menteri Belanda
yang mengunjungi kawasan ini (Indie), agar tidak terlalu banyak mendengarkan
dr. T. Mansoer. Sebab, dr. T Mansoer hanya mewakili kelompok kecil. Tetapi, dr.
Nainggolan bernegosiasi dengan komite, dan “kata-kata halus” dr. T. Mansoer
justru meyakinkannya agar komite mulai bekerja.
Pada 8 Oktober 1947, Staatsblad nomor 176 oleh Pemerintah Besluit
(keputusan) Daerah Istimewa Sumatera Timur diizinkan dan dimulainya pembentukan
komite untuk membentuk pemerintahan.
Pada 25 Desember 1947, Daerah Istimewa Sumatera Timur (DIST)
dibentuk.
Dr. Nainggolan dan masyarakat Batak begitu yakin bahwa Belanda
akan membebaskan Tapanuli, sehingga mereka pun meminta izin untuk membentuk
wilayah Tapanuli. Akan tetapi, wilayah Sumatera Timur telah membangun sebuah
“tembok” di sekitar wilayahnya, untuk menghadapi Aceh dan Tapanuli. Hal ini
lantaran ketakutan adanya pengaruh komunis, pun sudah terlampau menderita
akibat revolusi sosial. Ditambah lagi fakta bahwa masih adanya pembunuhan oleh
kaum ekstremis.
Pada 25 Desember 1947, Komite ditambah dengan satu orang China,
satu orang Inggris, dan dua orang Belanda. Dr Van de Velde merasa bahwa komite
telah “memeras” Belanda setelah apa yang dikenal sebagai agresi Belanda (politionele
actie) pada tahun 1947. Ia berpikir akan lebih baik jika Daerah Istimewa
meliputi Tapanuli, Batak, dan Aceh sehingga pada saat itu menjadi mungkin untuk
membentuk negara Sumatera Utara yang lebih besar dan kuat. Atau apakah itu
keinginan dari Belanda untuk mengkonsolidasikan pengaruh mereka di utara
Sumatera?
Dr. Van de Velde berpikir bahwa daerah tersebut lebih merupakan
pemerintahan yang berbasis keluarga dan berdasar sistem feodal. Ia melihat ada
begitu banyak keterlibatan para Tengku yang pendapat-pendapatnya akan lebih
menonjol. Sebab itu, akan terjadi oposisi dari kaum republikan. Ia memperingatkan
mereka oleh karena adanya kebijakan isolasi. Pada waktu itu, Belanda tidak
memahami adanya keinginan untuk otonomi dari sejumlah etnis Indonesia.
Belanda mengira bahwa mereka antirepublik. Padahal, dukungan
terhadap Republik cukup besar. Hanya saja, mereka tidak ingin didominasi oleh
orang lain kecuali oleh diri mereka sendiri. Begitupun tidak ada dominasi Jawa.
Belanda berpikir bahwa penduduk sejatinya memiliki “revolusi”-nya sendiri,
sebagaimana Sultan Jogja (pada 1946, Sultan Jogja mengirim telegram kepada
Sukarno bahwa ia mendukung Republik Indonesia, tetapi ia adalah pemimpin
kerajaannya, bukan Republik. Belanda sangka bahwa ia menolak Republik
Indonesia), Tuanku Mahmud, dan juga Tuanku Muhammad Daud untuk menolak
republik.
Dr Van de Velde tahu kelemahan daerah Istimewa Sumatera Timur,
yakni ketergantungan pada tentara Belanda dalam menjaga perdamaian dan
perlindungan.
Dr. Van de Velde berpikir bahwa akan lebih baik bagi Sumatera
Timur untuk menerima bendera nasional Merah Putih dan Indonesia Raya sebagai
lagu kebangsaan, bukan bendera sendiri (hijau, kuning, dan putih) dan lagu
nasional sendiri, serta untuk bersama bergabung dengan pemikiran revolusioner
kaum muda.
Tetapi, bagaimana mungkin dr. T. Mansoer menerima ini setelah
kaumnya beserta saudara-saudaranya dibantai? Sementara laskar-laskar tanpa
terkendali terus membunuh dan berbuat onar di wilayah tersebut? Mungkinkah ia
mempercayai Republik yang tidak mampu menghentikannya dan bahkan, lebih
buruk, mendorong revolusi?
Pada Januari 1948, komite berhasil membentuk negara yang terlepas
dari Daerah Istimewa Sumatera Timur. Dr. T. Mansoer menjadi wali negara. Mereka
memiliki segala upaya dan kelebihan, tetapi juga memiliki kelemahan. Mereka
tergantung pada tentara Belanda dan tanpa dukungan kaum intelektual Batak yang
berharap untuk menjadi pihak ketiga.
Pada 26 Januari 1948 Pemerintah Medan memilih Dewan Penasehat yang
mewakili populasi beberapa etnik dengan cara demokratis. Dewan ini harus
menyiapkan pemilihan pemerintah Medan nanti. Dalam Dewan Penasehat, yang
menjadi wakil Indonesia adalah dr. R. Abd. Manap, T. Oebaidoella, Aminoedin
Loebis, dan Achmad Marzoeki. Sedangkan wakil Belanda adalah Mr. R.F.E.M. Romme
dan Ir. M. van ‘ Hoogerhuys. Sementara wakil China adalah Tjoen drs. Ted Koei dan
Gan Huat Soei. Dan wakil India adalah Partap Singh.
Pada Februari 1948, sebagaimana tercantum pada buku Surat2 dari Sumatera, disebutkan adanya pertemuan tentang
kesepakatan gencatan senjata antara delegasi Belanda yang diwakili oleh dr. Van
de Velde dengan delegasi Republik yang diwakili oleh Isak Panjaitan, Herman
Sirait, Natigor Loebantobing, P. Manoeroeng, dan Letnan Lolonel Sitompoel
Miranda. Sayangnya, delegasi ini tidak berkesempatan untuk membicarakan
pembukaan kembali jalan-jalan lalu lintas ke Sumatera Timur. Mereka hanya
diizinkan berbicara tentang hal-hal kecil.
Sepanjang 1948, ada banyak kesepakatan dari anggota Negara
Sumatera Timur dengan beberapa perguruan tinggi.
Pada 20 Februari 1948 (Staatsblad 1948 Nomor 41), dilakukan
otorisasi kekuasaan untuk memerintah melalui:
a. Dewan Perwakilan. Dari 50 anggota yang dipilih 38 anggota dan
12 anggota yang ditunjuk. Untuk sementara, ia hanya terdiri dari 40 anggota.
Ini harus selesai dilakukan selambat-lambatnya pada 1 Januari 1950.
b. Delegasi perguruan tinggi. Paling banyak 7 anggota.
c. Para Wali Negara, didukung oleh dewan, yang dibentuk paling
banyak terdiri dari 5 anggota, bergabung dalam kabinet dan yang bisa dimandati
untuk memimpin sebuah departemen.
Selain itu, dibentuk pula tujuh departemen yang benar-benar
independen dari pemerintah pusat di Jawa/Yogyakarta.
Kabinet Negara Sumatera Timur dibentuk oleh Mr. T. Bahrioen
(direktur), G.J. Forch, G. van Gelder, T. Hafas, dan Tuanku Saiboen menjadi
anggota.
Kepala Departemen Pengadilan: Mr. Tan Tjeng Bie
Kepala Departemen Keuangan: M. Lalisang
Kepala Departemen Lalu lintas: T. Soeloeng Habitoellah
Kepala Departemen Kebudayaan: J. F. Keulemans
Kepala Departemen Kemakmuran: Mr. T. Bahrioen (ad interim)
Kepala Departemen Dalam Negeri: T. Hafas
Kepala Departemen Keamanan: T. Saiboen (Tuanku Saibun)
Kepala Departemen Keuangan: M. Lalisang
Kepala Departemen Lalu lintas: T. Soeloeng Habitoellah
Kepala Departemen Kebudayaan: J. F. Keulemans
Kepala Departemen Kemakmuran: Mr. T. Bahrioen (ad interim)
Kepala Departemen Dalam Negeri: T. Hafas
Kepala Departemen Keamanan: T. Saiboen (Tuanku Saibun)
Komandan Kepala Barisan Pengawal: Djomat Poerba
Delegasi perguruan tinggi: Radja Kaliamsyah Sinaga (Ketua),
Ngeradjai Meliala, T. Malaikoel Bahar, Tan Boen Djin, D.P. Van Meerten, Datoek
Kamil, dan A.H.F. Rotty. Radja Kaliamsyah Sinaga segera diangkat sebagai wakil
wali negara. Sebelum pergantian, pejabat Belanda ditempatkan sebagai staf untuk
membantu.
Kunjungan Presiden Negara India Sri Pandit Nehru ke Negara
Sumatera Timur di Kota Medan pada 1949. Foto: Dokumentasi pribadi Tengku
Mansoer Adil Mansoer.
Pada 1 Maret 1948, dr. T. Mansoer pulang setelah tinggal lama di
Jawa. Saat itu, Deli tengah mempersiapkan sebuah festival besar dari 13 sampai
18 Maret 1948 untuk merayakan pembentukan Negara Sumatera Timur.
Pada 6-7 Maret 1948, Wali Negara T. Mansoer bersama T. Hafas,
Orang Kaya Ramli, lt adj. H. J. Hergarden, Capt. J.D. de Roock, dan anggota
lainnya berkunjung secara informal ke Tanah Karo. Mereka diundang oleh P.
Scholten. Dari Brastagi melalui Kaban Jahe hingga Lau Balang untuk melihat
perbaikan jalan, perkebunan, logistik, dan bangunan-bangunan baru yang berada
di kampung-kampung. Penduduk berduyun-duyun datang dari berbagai penjuru.
Pada 12 Maret 1948, tamu-tamu dari kalangan petinggi hadir untuk
bergabung dalam pembentukan Negara Sumatera Timur. Hadir pula para gubernur
Belanda beserta istrinya, anggota dari hampir semua pimpinan daerah,
dewan-dewan di Indonesia, petinggi militer dari Jawa, dan anggota Commissie van
Goede Diensten (CGD) atau Commission of Good Offices dari UNO, Mr. Graham
(Amerika Serikat), Mr. Kirby (Australia), dan Mr. Paul van Zeeland (Belgia).
Pada 13 Maret 1948, diadakan festival Pasar Malam di Medan yang
dihadiri oleh banyak pengunjung dari banyak negeri, termasuk Sultan Pontianak
dari Borneo, Sultan Hamid II. Sementara Wali Negara dr. T. Mansoer pergi ke
Siantar dan Parapat.
Pada 15 Maret 1948, sebagaimana juga ditulis pada buku Kroniek 1948-1949, Oostkust van Sumatra Instituut, dilakukan pembentukan
keanggotaan Negara Sumatera Timur dengan izin dari pemerintah Belanda. Dr. Van
Mook diperbolehkan untuk hadir.
Pada 18 Maret 1948, wali negara dan Kepala Departemen Keuangan, M.
Lalisang, pergi ke Jakarta.
Pada 23 Maret 1948, ada pertemuan antara pengganti Mr. J.
Gerritsen, kepala Recomba dan wakil dari negara Kerajaan Belanda, dr. T.
Mansoer, Wali Negara, disertai oleh para pembicara Mr. J. Gerritsen dan Kepala
Departemen Dalam Negeri, T. Hafas.
Pada 3 April 1948, diadakan kenduri untuk wali negara. Ada seribu
tamu yang diundang. Hari berikutnya, ia mendapatkan anugerah kehormatan dari
kalangan dokter di Medan.
Pada 1 Mei 1948, wali negara mengunjungi pasar malam di Tebing
Tinggi dan disambut oleh T. Hassim atas nama pemerintah kota praja.
Satu minggu kemudian, Raja Kaliamsyah Sinaga dilantik sebagai
Wakil Wali Negara Sumatera Timur.
Pada 9-14 Mei 1948, wali negara melakukan perjalanan ke Asahan
Selatan dan Labuhan Deli bersama semua kepala departemen, kecuali M. Lalisan
dan Keulemans. Perjalanan tersebut merupakan kemenangan bagi Negara Sumatera
Timur. Apakah itu di Tanjung Balai, kota asal dr. T. Mansoer, atau Indrapura
dan Kisaran, Asahan, Pulu Raja, Rantau Prapat, Marbau, Labuhan Bilik, Kota
Pinang, atau Langga Payung, mereka disambut hangat penuh sorak sorai oleh
rakyat. Jelaslah, hanya dalam waktu dua puluh minggu, wilayah ini terbebas dari
penindasan Negara Republik Indonesia yang merupakan simbol teror, kekacauan,
dan ketidakadilan.
Pada 27 Mei 1948, diadakan Konferensi Federal di Bandung yang
diwakili oleh Mr. T. Bahrioen, Ngeradjai Meliala, G. van Gelder, Mr. Djaidin
Poerba, Mr. Tan Tjeng Bie, dan A.H.F. Rotty sebagai sekretaris. Wali negara
sudah bertolak kembali ke daerahnya pada 20 Mei 1948, dan setelah kepulangannya
pada 5 Juni 1948, mereka kembali ke Jakarta. Sebulan kemudian, ia kembali lagi
bersama G. Van Gelder dan M. Lalisang.
Pada 17 Juli 1948, wali negara kembali, tetapi seminggu kemudian,
disertai oleh Mr. T. Bahrioen dan G. van Gelder, ia pergi ke Bandung.
Pada 2 Agustus 1948, delegasi perguruan tinggi diusulkan untuk memperbanyak
kursi menjadi 28-35 kursi. Kursi tersebut terdiri dari: 9 Melayu, 5 Karo, 4
Simalungun, 3 Tapanuli, 1 Sumatera, 4 Jawa, 2 dari daerah Malino, 3 Belanda, 1
Indo, 2 China, dan 1 Inggris. Ini berarti ada 11 kelompok etnik berbeda yang
mewakili Dewan.
Pada 16-18 Agustus 1948, wali negara melakukan perjalanan melalui
pantai timur sebelum mengatur perjalanan ke Belanda. Ia mengunjungi Serdang,
Tebing Tinggi, dan Siantar. Perjalanan melalui Simalungun mengalami sukses
besar. Ya, sebuah kemenangan. Cara orang-orang Tanah Jawa menunjukkan rasa
terima kasihnya untuk perdamaian, bukan rasa takut dan bahaya yang mereka
alami.
Pada 19 Agustus 1948, wali negara beserta istri serta Mr. T.
Bahrioen dan Tuanku Saiboen pergi ke Jawa untuk menghadiri Konferensi Bandung
kedua.
Pada 22 Agustus 1948, mereka bertolak ke Belanda untuk menghadiri
undangan pelepasan Ratu Wilhelmina dan penobatan putrinya, Juliana. Mereka
mengunjungi kota Tilburg Belanda sebagai upaya mendapatkan investasi untuk
Negara Sumatera Timur.
Pada 11 September 1948, Mr. T. Bahrioen jatuh sakit dan harus
tinggal di rumah sakit. Radja Kaliamsyah Sinaga, G. Van Gelder, dan wali negara
lalu menjadi delegasi untuk menghadiri pertemuan federal.
Pada 22 September 1948, Tuanku Saiboen kembali ke negerinya.
Pada 8 Oktober 1948, kepulangan wali negara dan istrinya disambut
dengan upacara tepung tawar oleh seluruh pejabat Deli dan istri-istri mereka.
Dan, Mr. T. Bahrioen pergi dari Belanda ke Jenewa untuk bergabung dengan
Konferensi Internasional dan kembali pada 22 Oktober 1948.
Pada pertengahan November 1948, wali negara melawat ke Jawa
bersama G.J. Forch dan G. Van Gelder untuk menghadiri pertemuan federal.
Pada 18 November 1948, T. Arifin dan A.H.F. Rotty bergabung dengan
wali negara di Bandung.
Pada 21-24 November 1948, wali negara pulang ke Medan, tetapi tak
berselang lama harus pergi lagi ke Bandung bersama-sama dengan Wakil Wali
Negara Radja Kaliamsyah Sinaga serta GJ Forch dan M. Lalisang. Mereka kembali
tanggal 6 Desember 1948.
Untuk membentuk Republik
Indonesia Serikat, mereka harus banyak melakukan
pelawatan dan diskusi. Macam-macam perjalanan ini bahkan terus berlanjut sampai
Januari 1949, ketika Asahan Selatan dan Labuhan Deli meminta izin untuk
bergabung dengan Negara Sumatera Timur.
Sementara itu, Resolusi Konferensi Sumatera kedua tidak diterima
oleh Dewan Negara maupun oleh Perhimpunan Musyawarah Federal (BFO). Di wilayah
direktorat Sumatera, dr. T. Mansoer tidak meraih kursi. Padahal, mereka harus
mempersiapkan pertemuan Ronde Tafel Conferentie (RTC) atau Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Oleh karena itu, dipilihlah Raja Kaliamsyah
Sinaga sebagai Ketua Delegasi Negara Sumatera Timur. Turut bersamanya adalah
Mr. Djaidin Poerba (Wali Kota Medan), G.Van Gelder, G.J. Forch, T. Damrah dan
Datuk Kamil (anggota delegasi Dewan), serta Ngeradjai Meliala (Deputi Dewan
Perwakilan Sementara).
Dr. T. Mansoer menghadiri Konferensi Meja Bundar bukan sebagai anggota
delegasi Negara Sumatera Timur, tetapi sebagai Wali Negara Sumatera Timur.
Setelah tiga bulan, mereka kembali ke Deli dan diterima dengan hangat oleh
komite yang dibentuk oleh Datuk Hafiz Haberham.
Pada 13 November 1948, dr. T. Mansoer dan Radja Sinaga Kaliamsyah
berpidato di hadapan ribuan rakyat Indonesia dari Negara Sumatera Timur.
Pada Desember 1948, ada beberapa perubahan dan delegasi perguruan
tinggi menjadi berkurang. Tinggallah Datuk Ahmad Kamil, T. Malaikoel Bahar,
Ngeradjai, dan Tan Boen Meliala Djin.
Pada 20 April 1949, utusan perguruan tinggi ditambah Abdul Wahab,
C.J.J. Hogenboom, dan R.M. Sarsidi yang tengah menyelesaikan kuliahnya. Jadi
delegasi itu berjumlah lagi 7anggota.
Pada 1 Juni 1949, dalam Warta Rasmi 1949 Nomor 12, negara dibagi ke
dalam lima wilayah, yakni Langkat, Karo, Deli-Serdang, Sumatera Timur Bagian
Tengah, dan Asahan. Wilayah-wilayah ini dikelola oleh asisten residen A.C.S.
Moree, Ch. van Herpen, J.W. Burger, dr. Th. H.M. Loze, dan W. Veenbaas. Pegawai
sipil Belanda dididik untuk pekerjaan ini.
Pada 1 Agustus 1949, setelah kematian Mr. T. Bahrioen, T. Hafas
diangkat sebagai Direktur Kabinet Wali Negara. Sementara, T. Moehammad Arifin
menggantikannya sebagai Kepala Dalam Negeri.
Pada 18 November 1949, Ngeradjai Meliala diangkat sebagai anggota
kabinet Wali Negara bersama Tuanku Saiboen, G.J. Forch, dan G. Van Gelder
dengan T. Hafas sebagai pimpinannya. Mereka didukung oleh AH Naber, oditur
kelas 1.
Ada perubahan juga di beberapa departemen, setelah kematian M.
Lalisang. C.B.W. Manusiwa menjadi Kepala Departemen Keuangan dan T. Abdul Hamid
menjadi Kepala Departemen Ekonomi setelah kematian Mr. T. Bahrioen.
Sementara, kursi mendiang T. Soeloeng Habitoellah sebagai Kepala
Lalu Lintas tetap kosong hingga 1949.
Pada 2 Desember 1949, anggota Negara Sumatera Timur dalam Republik
Indonesia Serikat yang dipilih adalah Filemon Sinaga (Partai Demokrasi Sumatera
Timur), Nerus Ginting (tanpa partai), Orang Kaya Ramli (Partai Negara Sumatera
Timur), dan Mohammad Nuh (Partai Indonesia Raya).
Keluar enam anggota, yaitu Ngeradjai Meliala, Mr. Djaidin Poerba,
Datuk Hafiz Haberham, Datuk Kamil, T. Oebaidoellah, dan T. M. Bahar. Dua dari
anggota itu harus dipilih sebagai anggota senat dalam Republik Indonesia
Serikat.
Barisan Pengawal Negara Sumatera Timur memberi hormat
untuk wali negara di rumahnya pada 1948. Foto: Dokumentasi pribadi Tengku
Mansoer Adil Mansoer.
Pada 21 Desember 1949, dalam Warta Rasmi 1949 Nomor 75, ditentukan
Binjai sebagai ibu kota Langkat. Langkat sendiri meliputi subdivisi Langkat
Hulu dan Langkat Hilir dengan Binjai dan Tanjung Pura sebagai ibu kota
masing-masing. Selain itu, Kabanjahe menjadi ibu kota dari Karo. Medan sebagai
ibu kota dari Deli-Serdang yang meliputi subdivisi Deli Hilir, Deli Hulu,
Serdang, Padang dan Bedagai, dengan Medan, Arnhemia, Lubuk Pakam, dan Tebing
Tinggi sebagai ibu kota masing-masing.
Sementara, Pematang Siantar menjadi ibu kota Simalungun. Dan
Tanjung Balai sebagai ibu kota Asahan yang meliputi subdivisi Asahan dan Batu
Bara, dengan Rantau Prapat sebagai ibu kota.
Kerajaan
Kerajaan-kerajaan yang memiliki pemerintahan sendiri belum menjadi solusi dalam sistem yang baru. Tetapi, sudah ditetapkan untuk sementara waktu bahwa Dewan Negara akan mewakili mereka. Keputusan Kerajaan Belanda dan Dewan Negara Sumatera Timur didasarkan pada pemilihan di antara masyarakat kerajaan-kerajaan tersebut.
Kerajaan-kerajaan yang memiliki pemerintahan sendiri belum menjadi solusi dalam sistem yang baru. Tetapi, sudah ditetapkan untuk sementara waktu bahwa Dewan Negara akan mewakili mereka. Keputusan Kerajaan Belanda dan Dewan Negara Sumatera Timur didasarkan pada pemilihan di antara masyarakat kerajaan-kerajaan tersebut.
Pada Juli 1948, sultan-sultan dari negara Kerajaan Asahan dan
Deli, Mandor Baros, Sibayak dari Baros Jahe, raja Siantar, T. Busu dari Batu
Bara, Datuk Kamil, dan T. Bendahara pergi ke Jakarta. Saat itu ada pertemuan
280 raja dan sultan di Indonesia dengan wakil Kerajaan Belanda untuk membahas
tentang posisi negara lama itu.
Untuk bekerjasama dengan Negara Sumatera Timur, sudah ada konsepsi
bahwa mereka akan menunjuk dewan sementara (ad interim). Menurut Sultan
Deli, ada kemungkinan untuk mencapai kesepakatan dengan Kerajaan Belanda
sehingga dua anggota dapat bergabung dengan RTC atau Konferensi Meja Bundar.
Pada 18 Agustus 1948, sebuah komite dibentuk oleh Kerajaan Belanda
untuk melakukan kajian tentang kedudukan kerajaan. Komite harus melihat
keinginan mereka yang terlibat dan memberikan nasihat perihal prosedur mewakili
masyarakat dalam jajaran kerajaan. Hal ini dilakukan untuk mendefinisikan
kewenangan dan posisi antara Negara Sumatera Timur dan kerajaan-kerajaan yang
ada.
Ketua komite kajian ihwal kerajaan ini adalah Mr. H.W.J. Sonius
dengan J.D. de Roock sebagai sekretaris komite. Adapun anggotanya adalah Mandor
Baros (Sibayak dari Baros Jahe), Sultan Deli, Datuk Achmad Kamil, Mr. T.
Dzulkarnain, Mr. Mahidi, T. Abdul Hamid, Ngeradjai Meliala, dan Madja Poerba.
Dalam kasus penggantian T. Nikmatullah dan dua orang, Negara Sumatera Timur
yang melakukan penunjukkan.
Dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat Nomor 64-67, kedudukan
kerajaan telah ditetapkan. Para pimpinan negara kerajaan diakui dan posisi
mereka dalam negara menjadi urusan negara yang bersangkutan. Jika terjadi
sengketa atau perbedaan dapat diputuskan oleh Mahkamah Agung Indonesia.
(Ditulis dari referensi berbahasa Belanda ke dalam bahasa Inggris
oleh Tengku Mansoer Adil Mansoer dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Melayu/Indonesia oleh Soffa Ihsan)
T. Abdul Hamid menjadi Kepala Departemen Ekonomi minta izin tengku abdul hamid ini orang mana ya?
BalasHapus