Sabtu, 29 Oktober 2011

Warisan Budaya Hidup Kelompok Masyarakat Kanekes

“... Ada sesuatu milik Urang Baduy yang sanggup memperkaya batin kita. Sesuatu yang hampir sirna dalam alam modern ini. Kearifan. Citra “Baduy masyarakat terasing” adalah keliru. Mereka punya wawasan luas tentang hidup ini. Alam modern telah kerap bertandang, namun kerarifan Urang Baduy tetap gigih membendungnya. Pikukuh itu patut kita pahami. Rasa hormat kepada kearifan Urang Baduylah yang mendorong kami untuk menceritakan hidup keseharian mereka kepada anda. Dengan upaya tetap berpegang pada kejujuran sebagaimana tercermin pada “neda Agungna Parahun, neda Panjangna Hampura, bisi nebuk sisikuna, bisi nincak lorongannana – lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu enya ku dienyakeun, nu henteu kudu dihenteukeun” (Yudistira Kartiwa Garna 1987)


Desa Kanekes terletak di Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (dahulu Jawa Barat). Di daerah hulu aliran (sungai) Ci Ujung, pada sisi utara Pegunungan Kendeng di kawasan Banten Selatan. Menurut anggapan umum orang Sunda, penamaan atau sebutan Kanekes diambil dari nama (Sungai) Ci Kanekes yang mengalir di kawasan ini sehingga penduduk Desa kanekes menamakan dirinya Urang Kanekes (Orang Kanekes), tetapi orang Luar lebih mengenalnya dengan sebutan Orang Baduy. Sebutan yang “sangat tidak disukai” oleh Urang Kanekes, walau di wilayah ini ada bukit yang disebut Gunung Baduy dan didekatnya mengalir (sungai) Ci Baduy.


Sebutan Baduy menjadi populer di kalangan umum (luar) karena daerah Baduy merupakan pintu gerbang pertama untuk masuk ke daerah Kanekes, lagi pula penduduknya terbiasa bepergian keluar dan bergaul dengan penduduk di sekitarnya sehingga itu orang luar lebih mengenal “Urang Baduy”.


Dalam pandangan Urang Kanekes, kelompok Baduy ini lebih mirip “orang luar” daripada Urang Kanekes dan mereka pun tidak merasa terwakili oleh penampilan Urang Baduy yang dipandangnya hanya sedikit sekali berpegang pada tradisi Kanekes. Di samping itu, istilah Baduy sering dihubungkan oleh kalangan luar dengan istilah “Baduwi” yakni salah satu suku arab yang hidup liar dan tidak hidup menetap tetapi selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain--nomaden. Ketidakmengertian kalangan luar menganggap Urang Kanekes pelarian Pajajaran yang sengaja sembunyi ke pegunungan karena tidak mau masuk agama Islam.


Kenyataannya Urang Kanekes di kawasan Lebak telah menghuni secara turun temurun sejak sebelum Pajajaran hadir, maka dengan tandang Urang Kanekes menyatakan tegas bahwa dirinya adalah Sunda nu Wiwitan. Barangkali prasasti Cidanghiyang (abad 4—5 Masehi) yang kini masih insitu di kawasan ini dapat dijadikan tonggak sejarah yang sulit ditolak sebagai bukti keberadaan Urang Kanekes dan perangkat kehidupan kebudayaannya memiliki kepribadian tangguh kasundaan dibandingkan dengan yang mengaku Urang Sunda di Jawa Barat.


Salah satu kesulitan penelitian di Kanekes adalah benturan adat tidak membolehkan semah (tamu) menetap lebih dari 3 hari terutama orang asing (foreigner) samasekali dilarang masuk. Kesempatan berbicara untuk menuai informasi merupakan sesuatu yang sangat mahal karena kesempatan hanya terbuka sekali setahun saja. Terlebih lagi ada kerarifan Urang Kanekes yang bersifat pendiam atau sengaja tutup mulut, bilamana tidak perlu benar maka mereka cukup menjawab “teu wasa”. Informasi yang leluasa dapat diperoleh bila ada Urang Panamping (Baduy Luar = Urang Hilir), walau harus diakui bahwa di dalam beberapa hal nilainya sebagai sumber informasi lebih dalam daripada informasi Urang Tangtu (Baduy Dalam= Kajeroan= Urang Girang) yang merupakan “elite” komunitas ini.


Satu hal terpenting yang kerap terluput dari penelitian selama ini adalah mandala yang selalu disebut-sebut di dalam setiap peristiwa ritual untuk menyebut hunian tempat mereka hidup. Mandala Kanekes adalah tanah suci yang diwariskan leluhur (nenek-moyang) mereka secara turun temurun. Karena itu harus dijaga, dipelihara, dipertahan-kan dan tidak boleh diinjak oleh sembarang orang.


Penduduk Kanekes sendiri diperkenankan menetap di tanah Kanekes sepanjang tidak melanggar ketentuan adat yang selama ini telah menuntun kehidupan sebagai simbol melaksanakan Tapa dina Mandala. Sedangkan leluhur Urang Sunda secara umum melakukan Tapa di Nagara. Rumusan tradisi Urang Kanekes bersendikan kehidupan Tapa dina Mandala yang di dalam berbagai karyasastra Sunda Kuno disebutkan:


“Carek na patikrama na urang lanang wadwan, iya tuwah iya tapa. Iya tuwah na urang. Gwareng twah gwareng tapa, maja twah maha tapa, rampes twah rampes tapa; apana urang ku twahna mana beunghar, ku twahna mana waya tapa” .


Urang Kanekes sebagai “pertapa” selalu bersamadi diterapkan dengan cara rajin bekerja dan tekun, sedikit bicara dan bahkan hampir tidak pernah menganggur seumur hidupnya. Karena bekerja adalah tapa mereka. Berladang bagi Urang Kanekes bukan sekedar menanam padi atau palawija untuk makan melainkan agar hidup berkecukupan dan tidak menyusahkan orang lain, sebab perilaku menta (meminta) merupakan hal yang sangat tabu dan harus dijauhi (buyut).


Dari seluruh siklus kehidupan, adat berladang adalah terpenting, karenanya daur kehidupan sehari-hari terpolakan sesuai dengan irama perlandangan, tetapi sangat tabu (buyut) bersawah karena mencangkul atau membongkar tanah dianggap merusak bumi. Tradisi berladang sebagai bagian tapa dilestarikan melalui penghormatan terhadap benih padi atau coo binih yang disebut dengan julukan hormat Ambu Pwah Aci Sang Hiyang Asri. Peristiwa sakral yang dilakukan tiap tahun, coo binih ditanam di tanah lambang Ambu Pwah Aci Sang Hiyang Asri dikawinkan (direremokeun) dengan mandala pageuh (bumi).


Bertanam padi sebagai fokus budaya yang dominan dalam kehidupan masyarakat Kanekes dilakukan melalui ritus (upacara) masal. Urang Tangtu (Girang=Kajeroan) hanya sekali dalam setahun membunyi kan angklung yakni kala menanam padi huma serang (ladang milik bersama) bertujuan menghibur padi, juga memainkan kecapi atau alat kesenian bambu yang dimilikinya.


Secara etnik Urang Kanekes adalah orang Sunda, mereka mengaku Urang Sunda ditandai keyakinan Sunda Wiwitan. Dalam lubuk hati mereka tertanam perasaan “Sunda lebih Asli” dibandingkan dengan orang Sunda di luar Kanekes yang telah beralih menjadi penganut Islam. Mitologi Kanekes menampil kan pandangan bahwa di Bumi Kanekeslah awal kelahiran mandala Sunda. Bahasa mereka adalah bahasa Sunda dialek Banten Selatan yang dapat dikatakan sedikit sekali dipengaruhi bahasa dari luar (asing).


Mandala Kanekes mencakup tiga (kampung) disebut Tangtu yang menurut istilah Kanekes berarti pasti (tentu), cakal bakal (pokok) dalam kesatuan yang disebut Telu Tangtu yaitu Cibeo sebagai Tangtu Parahiyang; Cikartawana sebagai Tangtu Kadu Kujang; dan Cikeusik sebagai Tangtu Pada Ageung. Telu Tangtu inilah yang menjadi inti kehidupan masyarakat Kanekes. Penduduk Tangtu adalah kelompok elite sesuai kwalitas kemandalaannya yang tinggi, dari kalangan mereka pula diambil para pejabat inti pemerintahan tradisional.


Di luar Telu Tangtu terdapat kampung Panamping – Baduy Luar – kata panamping berasal dari tamping yang menurut Urang Kanekes artinya buang (panamping = pembuangan) tempat bagi Urang Tangtu yang dikeluarkan karena melanggar adat. Namun sebenarnya kata tamping juga dapat diterjemahkan sisi atau pinggir maka panamping berarti pinggiran (daerah luar). Menurut pengakuan Ayah Dainah (Jaro Pamarentah Kadu Ketug - Baduy Luar) yang tinggal di kampung Kadu Ketug di daerah Ciboleger, sebenarnya yang disebut Baduy Luar bukan pembuangan tetapi kampung mereka merupakan pintu gerbang (bagian hilir= lebak) menuju ke Baduy Jero (Girang) yang berada di daerah hulu (tonggoh).


Kenyataannya sampai sekarang di Panamping banyak menetap keturunan Urang Tangtu dan banyak kerabat keluarga dari Puun. Hubungan kekerabatan diantara mereka tidak terganggu oleh status kemandalaan bahkan berjalan dengan sangat baik serta akrab sebagai layaknya jalinan atau tali persaudaraan. Namun kerabat di Panamping kerap “tahu diri” membatasi pergaulannya dengan kerabat Kampung Tangtu.


Tempat tinggal kaum panamping berada di luar Tanah Larangan dan mereka terikat kepada Tangtu Masing-masing dan dalam hal berlaku ketentuan nyanghareup (menghadap). Bila seseorang warga Panamping tinggal di wilayah Kapuunan Cikeusik nyanghareup ke Tangtu Cibeo sehingga dalam kegiatan-kegiatan adat ia bergabung ke Kapuunan Cibeo dan berlaku sebaliknya. Hal itu terjadi biasanya karena hubungan perkawinan antar kampung. Demikian pula warga Tangtu Cikeusik yang berjodoh dengan wanita Tangtu Cibeo akan mengikuti istrinya nyanghareup ke Tangtu Cibeo.


Di Kanekes juga terdapat kampung Dangka yang berada di luar wilayah Kanekes. Dangka artinya rangka – tempat tinggal atau daerah permukiman, namun menurut mitologi setempat artinya tempat pemukiman kaum raksasa di bawah tanah bahkan dalam dialek Bogor artinya (pakaian) kotor. Adanya daerah Panamping dan Dangka menunjukkan bahwa sebenarnya wilayah Kanekes lebih luas daripada yang ada sekarang. Penetapan batas yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda telah menyempitkan wilayah Kanekes sampai batas kemandalaannya, sehingga banyak yang tercecer di luar batas tersebut.


Kanekes terbagi wilayah Tangtu, wilayah Panamping dan wilayah Dangka, tiap wilayah disebut lembur (kampung). Lembur Tangtu dan lembur Panamping di dalam lingkungan desa Kanekes; sedangkan lembur Dangka berada di luar desa Kanekes. Menurut barometer Urang Lembur Tangtu memiliki kadar / tingkat kemandalaan yang tinggi. Lembur Tangtu itu meliputi Tangtu Cibeo (Tangtu Parahiyang); Tangtu Cikartawana (Tangtu Kadukujang) ; dan Tangtu Cikeusik (Tangtu Pada Ageung).


Tiga lembur Tangtu adalah pusat kesatuan “Tlu Tangtu atau Tri Tangtu” yang kerap disebut atau dijuluki Baduy Jero (Baduy Dalam). Tri Tangtu adaslah tatanan mandala Kanekes yang sebenarnyamerupakan simbol keselarasan dan keseimbangan kosmis antara mandala bumi (jagat alit) dan mandala ageung - jagat semesta (jagat gede). Konsep ini tersimpan di dalam unsur keyakinan masyarakat Baduy atau Kanekes yang mengaku memeluk Sunda nu Wiwitan - “Sunda yang awal, yang asli” yang secara kontinyu berlangsung hingga kekiniannya.


Konsep Tri Tangtu disebutkan di dalam Kropak 630 (XXVI): “Ini tri tangu di bumi, bayu kita pinaka prebu, sabda pinaka rama, hedap kita pinaka resi; ya tri tangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaranna” (= inilah tiga Tangtu di bumi, berwibawalah layaknya raja, berucaplah layaknya rama, bertekad layaknya resi, tri tangtu di bumi sebagai peneguh dunia. Kropak 632 (Lembar III) menyebut “jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu” (bimbingan tanggungjawab pada sang rama, kesejahteraan tanggungjawab sang resi, dan tahta tanggungjawab sang raja).


Tangtu dari kata tangtu merujuk kata “benang, cakal-bakal “the propagator of race”, menurut pemahaman Urang Kanekes sendiri, Tangtu adalah tentu, pasti, selaras pengertian bahasa Sunda artinya “tempat, pasti” juga “pustaka” karena ada istilah “guru tangtu” (kropak 630). Maka Tangtu merujuk tempat, cikal bakal, pokok pangkal keturunan dan pangkal atau pendiri kehidupan.


Menurut sejarah Kanekes, leluhur para Puun digelari Sanghiyang Daleum. Warga (Urang) Tangtu adalah Urang Rawayan (= jembatan), datang dan masuk ke kampung Tangtu melalui rawayan. Namun bukan sekedar rawayan (=jembatan) melainkan simbol penghuni atau keturunan warga Tangtu kerabat Puun Sanghiyang Dalem “bangsawan”. Karena itu Warga Tangtu juga dijuluki Kaum Daleum - Kajeroan (Kadaleman, Padaleman), dalam pengertian ”dalem-jero-lebet” merujuk pengertian raja, bupati, kraton, istana. Sekaligus menunjukkan bahwa Kanekes adalah rawayan “kelompok elite” menghuni kawasan Tangtu berstatus kemandalaan tinggi, mandala Kapuunan “lembaga tunggal” bagi seluruh wilayah Kanekes.


Tiga Tangtu merupakan corak pemerintahan tradisional Sunda yang bersifat triumvirat yakni tria iuncta in uno, gabungan tiga menjadi satu, kesatuan Trio yang tidak terpisahkan. Tiap-tiap Tangtu dipimpin oleh Puun yang menguasai kapuunan dan sepertiga fungsi kesatuan Kanekes. konsep Tri Tangtu di Bumi berlandaskan simbol rama, resi dan prabhu. Demikianlah Puun Cikeusik sebagai Puun Rama, Puun Cikartawana sebagai Puun Resi atau Puun Pandita, Puun Cibeo sebagai Puun Prabhu atau Puun Raja atau Puun Ponggawa.


Warga masyarakat Tangtu Telu inilah yang paling pokok sebagai penyandang tugas dan kewajiban utama, yaitu:


1. Ngareksakeun Sasaka Pusaka Buana, lahan paling suci terletak di Pasir (bukit) Pamuntuan hulu Ci Ujung, bagian barat Pegunungan Kendeng lokasinya “dirahasiakan” hingga kini yang mengunjungi hanyalah puun Tangtu Cikeusik. Selaras kepentingan bahwa Sasaka Pusaka Buana atau Sasaka pada Ageung atau Tangtu Pada Ageung sepenuhnya tanggung jawab Puun Cikeusik. Menurut riwayatnya Sasaka Pusaka Buana merupakan sumber kelahiran Tangtu Cikeusik


2. Ngareksakeun Sasaka Domas atau Mandala Parahiyang tempat suci kedua Kanekes yang menjadi tanggungjawab puun Cibeo. Oleh karena itu Tangtu Cibeo disebut Tangtu Parahiyang selaras lokasinya berada di leuweung (hutan) larangan di hulu Ci Parahiyang. Batara Cikal, salah seorang tujuh batara diyakini sebagai Leluhur (Karuhun) Kanekes pertama kali datang dan dia pula yang selanjutnya menurunkan para puun di Kanekes


3. Ngasuh Ratu Ngajayak Menak merupakan tugas ketiga Urang Kanekes yakni membimbing orang-orang mulia (nu siya mulia> Kawali catatan kaki). Dimaksud adalah poembesar atau pejabat tinggi kerajaan atau penguasa. Menurut mereka di Kanekes tidak ada di wilayah mereka melainkan di dayeuh atau pusat (kerajaan). Hingga sekarang yang disebut “ngasuh ratu ngajayak menak” tidak pernah mereka mengabaikan, tidak luntur perubahan jaman atau pergantian bentuk pemerintahan


4. Ngabaratapakeun nusatelupuluhtelu bagawan sawidak lima pancer salawe-nagara (mempertapakan 33 nusa, 65 sungai, dan 25 nagara). Menurut Saleh Danasamita (1986:28) nusa dimaksudkan sebagai tepi sungai, sesuai kenyataan hunian Kanekes menyebar pada daerah aliran sungai. Dengan kata lain nusa juga merujuk negri Kanekes yang desa-desa tempat huniannya berjumlah 33; termasuk sungai-sungai di kawasan ini seluruhnya berjumlah 65 aliran; 25 dimaksudkan pusat-pusat pemerintahan negara


5. Kalanjakan-Kapundayan. Istilah kalanjakan berasal dari kata benda dasar lanjak yang merujuk kepada arti “jaring” alat untuk menangkap hewan buruan; kapundayan dari kata kerja dasar punday menangkap. Karena itu dua istilah ini merupakan action ini tidak dipisahkan yang di dalam prakteknya “kalanjakan-kapundayan” menangkap ikan atau hewan buruan dengan alat disebut lanjak. Dilaksanakan menjelang upacara Kawalu yang terjadi tiga kali setahun. Dilaksanakan sembilan hari sebelum Kawalu selama tiga atau enam hari dipimpin oleh puun (Cikeusik dan Cibeo). Hewan lanjak terbatas peucang (kancil), buut (tupai) dan mencek (menjangan); jenis ikan dibatasi kancra (ikan mas tua/ besar), paray dan hurang (udang). Namun tidak mengeksploitasi, hewan yang tertangkap jaring tidak boleh mati, jikalau salah jaring harus dilepas dalam keadaan hidup. Kecuali masyarakatnya, dalam kegiatan ini Puun Cikartawana tidak turut kegiatan kalanjakan kapundayan tetapi disumbang Tangtu Cikeusik dan Tangtu Cibeo.


6. Ngukus-Ngawalu, Muja,
- Ngalaksa adalah tahapan-tahapan kegiatan yang dilakukan secara runut dan teratur dalam proses upacara keagamaan di Kanekes. Ngukus sebenar nya membuat kukus (asap) yaitu dengan membakar zat aromatik seperti kemenyan, kayu gaharu, madat atau getah. Dalam tradisi ritual kukus dipandang sebagai pembuka hubungan dengan dunia gaib. Asap wangi yang membumbung ke udara (langit) memberi suasana khas ang diharapkan mencapai dunia atas dan menarik penghuninya, layaknya alunan untaian kidung “bul kukus ngkup ka manggung” (mengepullah asap memenuhi dunia atas). Zat aromatik yang dibakar betgantung kepada tujuan yang dicapai, menurut mereka setiap zat aromatik memiliki “daya gaib” berbeda-beda. Bagi Ambu[Poh] Aci Sanghiyang Asri (Abu Pohaci) khusus digunakan getah Ki Tenjo (Sunda Kuno: Penjo)


- Ngawalu, istilah ini mengacu kepada upacara Kawalu dari kata walu – bali - balik maka kawalu adalah kabali atau “kembali”. Kegiatan upacara setelah padi dari ladang “kembali” ke lumbung (Sunda: leuit) setelah sekian lama mengembara di “weweg sampeg mandala pageuh” yaitu rumah suaminya (tanah= ladang). Upacara Kawalu berlangsung tigakali setahun meliputi Kawalu Tembey (awal) diadakan setiap tanggal 17 Kasa (bulan ke sepuluh menurut sistem pertanggalan Kanekes), Kawalu Tengah setiap tanggal 18 Karo (bulan kesebelas dalam sistem pertanggalan Kanekes), dan Kawalu tutug (akhir) dilaksanakan setiap tanggal 17 Katiga (bulan keduabelas sistem pertanggalan Kanekes). Khusus Tangtu Cikartawana hanya melaksanakan Kawalu Tembey dan Kawalu Tutug


- Muja, adalah memuja di Sasaka Pusaka Buana atau Sasaka Pada Ageung oleh Puun Cikeusik, di Sasaka Parahiyang atau Sasaka Domas oleh Puun Cibeo. Di dalam penyelenggaraanya baik Puun Cikeusik mau pun Puun Cibeo dan be-berapa orang Baris Kolot bertindak atas nama warga masyarakat Kanekes. Muja di Sasaka Domas berlangsung satuhari penuh pagi sampai sore setiap tangga 7 bulan Kalima menurut, sedangkan Muja di Pada Ageung berlangsung setiap tanggal 16, 17 dan 18 bulan Kalima.
Sebelum berangkat ke tempat Muja, Puun Cikeusik dan Baris Kolot yang “terpercaya” membersihkan badan memakai kain bersih putih. Masuk ke tempat Muja dalam kondisi berpuasa, menjaga tetap tanah tetap bersih (dilarang meludah di tanah, buang air besar dan kecil ditampung dengan ruas bambu besar “lodong”) pantang bercakap-cakap. Akhir proses Muja, sebelum turun mengambil tanah putih dan rumput komala untuk “pemberian berkah” di Tangtu Cikeusik. Masyarakat Kanekes juga berpuasa dan berbuka dengan ‘luluy” (Sunda: buras) yang dibuat oleh parawari. Puun Cikeusik lalu membagikan tanah putih dan rumput komala kepada penduduk (yang memohon berkah) dengan tebusan (uang, pisau, minyak wangi atau apa saja).


-Ngalaksa: membuat yang dilaksanakan pada akhir bulan Katiga yakni bulan terakhir kalender Kanekes dan berlangsung selam 7 hari. Diawali di Kapuunan kemudian berantai ke seluruh kampung Panamping. Laksa dibuat khusus dari huma serang yang terletak di kapuunan dan dari huma tuladan di Panamping. Karena itu Ngalaksa bersifat sakral sebab yang menjadi bahan utama (tepung beras) diambil dari tujuh rumpun padi ditanam di pupuhunan huma serang (kawasan Tangtu) dan huma tuladan (kawasan Panamping). Pupuhunan adalah pusat seluruh huma atau ladang tempat terkumpulnya zat-zat terbaik bumi. Di pupuhunan terhimpun “sakti bumi” yang meresap ke dalam butir padi sehingga laksa merupakan aci bumi sebagai inti kekuatan pertiwi. Ngalaksa merupakan pamungkas dari keseluruhan upacara Muja karena itu yang ditugasi membuat laksa pun dari awal hinggai selesai dalam keadaan berpuasa.


Ngareksakeun Sasaka Pusaka Buana;Ngareksakeun Sasaka Domas pada hakekatnya adalah lambang penghormatan awal mula diturunkannya Tujuh Batara sebagai leluhur para Puun di bumi Kanekes sedangkan Sasaka Domas dihubungkan dengan kisah kelompok masyarakat Kanekes. Pertautannya langsung kepada realisasi konsep kosmogoni Urang Kanekes, yang meyakini jagat semesta ini semula berujud kental dan bening, lalu mulai mengeras sebesar sayap nyamuk, disusul bagian-bagian lainnya turut pula mengeras. Titik paling awal yang mengeras disebut Sasaka Pusaka Buana atau Pada Ageung atau Sasaka Domas, dan disinilah Nu ngersakeun menurunkan Tujuh Batara Hiyang selanjutnya menurun kan dan memerintah tujuh wilayah: Parahiyang, Karang, Jampang, Sajra (Tangerang), Jasinga, Bongbang, dan Banten (Lebak).


Sasaka Pusaka Buana terletak di Gunung Pamuntuan, hulu (sungai) Ci Ujung, ujung barat tataran Pegunungan Kendeng. Namun letak sebenarnya, sangat rahasia, hanya Puun Cikeusik yang tahu dan orang-orang kepercayaannya. Namun menurut Saleh Danasasmita (l986:24) kenyataan sesungguhnya pusat upacara keagamaan berupa bukit (Sunda:Pasir) yang pada puncaknya terdapat batu besar, disebut Pada Ageung. Di sekeliling bukit terdapat tujuh undakan “menyerupai” petak-petak mengikuti pola bukit (lingkungan alam) “semacam teras-teras berundak yang kian keatas kian tinggi”.


Diantara semak-semak pada puncaknya terdapat batu-batu kecil disebut “arca Domas”. Pusat upacara keagamaan “simbolisasi jagat semesta” puseur dangiang, yang merupakan bangunan mengimposisi lingkungan alam berupa teras berundak disusun kian tinggi mengikuti pola dan tatanan bukit yang ditempatinya, dengan punden di bagian puncak sebagai pusatnya.


Bangunan tersebut sesuai citra keyakinan Kanekes yakni penghormatan kepada penciptaan awal rumuhun “ leluhur” Urang Kanekes yang pertamakali diturunkan dari tujuh Batara adalah Batara Cikal di Pada Ageung. Melalui proses turun-temurun Batara Cikal menurunkan Sanghiyang Daleum Janggala dan Sanghiyang Daleum Patanjala menurunkan para Puun Tangtu Cikeusik; Sanghiyang Daleum Lagoni menurunkan para Puun Tangtu Cikartawana; Sanghiyang Daleum Putih Sidahurip menurunkan para Puun Tangtu Cibeo.


Ada seulas ungkapan yng teramat dalam tentang Kanekes (Baduy) oleh Yudistira k.Garna (yang menurut pemikiran saya dikembangkan oleh K.GARNA dengan berdasar kepada tugas dan fungsi pokok Kanekes NGAMANDALA NA BUANA PANCA TENGAH tersebut):


" The hustle and the bustle of the world that are profan, with all their restoration and development being delicately complex,are the ocean with roaring waves. In the roar of the wave there emerge a small island of the Baduy (baca: Kanekes) that is sacred, the inception of the universe and that of human being.....The small community has asens of responsibility to save all the people who are busy sailing in thae tremendous ocean.. The small island has no ambition to claim tht waves to be his control, nor the ocean - instead- is always ready to guide and savety of all men,,, but on the other hand the small island does not wish to be under the control of the wavws not under that the men of the ocean... The men in the ocean are expectedly willing to understand that their savety itself deoends on the small island of the Baduy (baca:Kanekes) communoty that from the very outset has been assigned to call upon The Ancestors for savety on the part o all men...... and if Baduy (baca: Kanekes) has a good command in English - they would shout loudly............. "PLEASE1 LEAVE US ALONE!


Di tulis oleh: Richadiana Kartakusuma (Ambu).

0 komentar:

Posting Komentar