Selasa, 31 Januari 2012

Hukum dan pers

Pers, kata yang identik dengan wartawan, kamera, pemberitaan, bahkan acara infotainment. Pers di Indonesia mengalami dinamika yang panjang. Mulai dari perannya sebagai corong informasi publik, alat kontrol kebijakan pemerintah, media pengaduan masyarakat, media kampanye, sarana penghimpun bantuan kemanusiaan dan lain-lain, termasuk adanya pemukulan terhadap wartawan atau sebaliknya pemberitaan pers yang mencemarkan nama baik seseorang.

Pers merupakan berfungsi sebagai mitra untuk mencari kebenaran dengan cara memberikan bukti dan argumen untuk landasan dalam mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap. Sehingga pers sendiri memiliki tujuan untuk menemukan kebenaran, memberi informasi, menafsirkan, dan menghibur masyarakat. Di Negara demokrasi seperti Indonesia, pers merupakan pilar keempat demokrasi yang juga mengawasi penegakan hukum di Indonesia serta penegakan HAM.
Dari barbagai dinamika pers di atas, satu hal yang menarik dan selalu menjadi masalah bahkan mungkin momok yang menakutkan bagi dunia pers adalah delik pers yang katanya identik dengan upaya pengekangan kebebasan pers. Kebanyakan delik pers dimulai dari pengaduan pihak yang merasa dirugikan atas sebuah pemberitaan kepada pihak yang berwajib dengan menggunakan pasal "pencemaran nama baik" dalam KUHP. Hal inilah yang dinilai kalangan pers sebagai kriminalisasi terhadap pers, dimana menggunakan ketentuan KUHP, padahal sudah ada UU No 40/1999 tentang Pers.
2.    RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana perlindungan pers di Indonesia?
2.      Bagaimana peran kode etik jurnalistik?
3.      Bagaimana peran pers dalam pengawasan penegakan hukum di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
1.        Perlindungan Pers
Masih adanya pengekangan kebebasan pers melalui berbagai modusnya dengan pelaku yang makin variatif menunjukkan kesadaran akan arti penting kehadiran pers dalam kehidupan berdemokrasi masih minim. Sebagai bentuk kesadaran sosial, kiranya sosialisasi terhadap peran penting pers harus terus dilakukan kepada semua elemen bangsa ini.
Kemerdekaan pers selain dijamin oleh Pasal 28 Konstitusi, juga diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No 40/1999 tentang Pers, bahwa Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Pelanggaran terhadap pasal ini diancam dengan pidana penjara maksimal 2 tahun atau denda maksimal 500 juta. Begitu pula terhadap pekerja jurnalistik, dalam Pasal 8 disebutkan bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Demikian juga dengan seorang wartawan. Ia berhak untuk menolak menyebutkan sumber berita (news resources). Sumber berita tersebut harus dilindungi! Bila seorang wartawan tidak mau melindungi sebuah sumber berita, maka tak akan ada orang yang mau untuk menjadi sumber berita yang “anonim” karena rahasia pribadinya dan keselamatan hidupnya dapat terancam.[1] Dengan demikian, hak tolak (verschoningsrecht) adalah hak seorang wartawan dan dijamin oleh UU No 40/1999 Pasal 1 Ayat (10). Sebab itu, siapa pun tidak boleh memaksa seorang wartawan untuk menanggalkan hak tolaknya. Apa alasannya? Untuk melindungi profesi wartawan dan demi kemerdekaan pers.

Kemerdekaan Pers Negara Hukum pancasila
Suatu Negara hukum khususnya Negara hukum pancasila yang memandang hak asasi sebagai suatu essentialia dimana hak atau kebebasan untuk berfikir dan berbicara merupakan suatu unsur yang vital dan indispensable akan menjamin kebebasan pers sebagai hak demokrasi sebagai central meaning dan sebagai hak yang merupakan pendorong dari hak asasi lainnya.[2]
Kebebasan pers merupakan syarat essential bagi suatu Negara hukum yang demokratis.syarat demikian juga akan diakui oleh Negara hukum pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa karenannya unsur agama dalam menanggapi persoalan yang kebebasan bepikir dan berbicara merupakan hal yang sangat fundamental tanpa nama suatu approach tentang persoalan kemerdekaan tidak akan memberikan suatu penilaian yang seimbang.[3]
2.        Kode Etik Jurnalistik
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi oleh Pancasila, UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab social, keberagamanmasyarakat dan norma-norma agama. Karena itu pers dituntut untuk profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik, yaitu:
Pasal 1
Wartawan Indonesia Bersikap Independen, Menghasilkan Berita Akurat, Berimbang Dan Tidak Beritikad Buruk
Penafsiran:
  • Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
  • Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
  • Berimbang berarti semua pihak mendapatkan kesempatan setara.
  • Tidak beritikad berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia Menempuh Cara-Cara Profesional Dalam Melaksanakan TugasJurnalistik
Penafsiran:
Cara-cara profesional adalah:
  • Menunjukkan identitas diri kepada narasumber, menghormati hak privasi, tidak menyuap, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya.
  • Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang.
  • Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyiaran gambar, foto dan suara.
  • Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai hasil karya sendiri.
  • Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia Selalu Menguji Informasi, Memberitakan Secara Berimbang, Tidak Mencampurkan Fakta Dan Opini Yang Menghakimi, Serta Menerapkan Asas Praduga Tak Bersalah
Penafsiran:
  • Menguji informasi berarti melakukan check dan recheck tentang kebenaran informasi.
  • Berimbang berarti memberikan ruang atau waktu pemberiataan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
  • Opini yang menghakimi berarti pendapat pribadi wartawan. Berbeda dengan opini interpretative, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
  • Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia Tidak Membuat Berita Bohong, Fitnah, Sadis Dan Cabul
Penafsiran:
  • Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
  • Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
  • Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
  • Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
  • Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartwan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia Tidak Menyebutkan Dan Menyiarkan Identitas Korban Kejahatan Susila Dan Tidak Menyebutkan Identitas Anak Yang Menjadi Pelaku Kejahatan
Penafsiran:
  • Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
  • Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia Tidak Menyalahgunakan Profesi Dan Tidak Menerima Suap
Penafsiran:
  • Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
  • Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia Memiliki Hak Tolak Untuk Melindungi Narasumber Yang Tidak Bersedia Diketahui Indentitas Maupun Keberadaannya, Menghargai Ketentuan Embargo, Informasi Latar Belakang Dan “Off The Record” Sesuai Dengan Kesepakatan
Penafsiran:
  • Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
  • Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
  • Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
  • Off The Record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberikan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia Tidak Menulis Atau Menyiarkan Berita Berdasarkan Prasangka Atau Diskriminasi Terhadap Seseorang Atas Dasar Perbedaan Suku, Ras, Warna Kulit, Agama, Jenis Kelamin Dan Bahasa Serta Tidak Merendahkan Martabat Orang Lemah, Miskin, Sakit, Cacat Jiwa Atau Cacat Jasmani
Penafsiran:
  • Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas, diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia Menghargai Hak Narasumber Tentang Kehidupan Pribadinya, Kecuali Untuk Kepentingan Publik
Penafsiran
  • Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
  • Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia Segera Mencabut, Meralat Dan Memperbaiki Berita Yang Keliru Dan Tidak Akurat Disertai Dengan Permintaan Maaf Kepada Pembaca, Pendengar, Dan Atau Pemirsa
Penafsiran:
  • Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
  • Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia Melayani Hak Jawab Dan Hak Koreksi Secara Proporsional
Penafsiran:
  • Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
  • Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
  • Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.[4] 
3.        Peran Pers Dalam Pengawasan Penegakan Hukum di Indonesia
Pers di Negara demokrasi sangat besar perannya dalam pengawasan penegakan hukum. Dalam kaitan dengan peranan dan fungsi pers ini, haruslah kita pahami bahwa memang dalam penegakan Negara Hukum dibutuhkan adanya pilar atau komponen pers yang bebas tetapi yang juga harus berada dalam rambu-rambu akuntabilitas dan transparansi.
Pers harus dilindungi terhadap segala macam pengaruh yang dapat mengkerdil-kan fungsi pers itu sendiri, sehingga menghalangi kebebasan menyatakan pendapat. Peranan dan fungsi pers sebagai salah satu lembaga kontrol atau pengawasan merupakan sarana yang strategis didalam proses mewujudkan Negara Hukum, sebab melalui kekuatannya pers dapat dan mampu meningkatkan kepedulian masya­rakat sehingga "social control" dapat terlaksana dengan baik.
Bahkan dapat dikatakan bahwa secara langsung pers mempunyai peranan yang benar dan berpengaruh terhadap implementasi dari independensi Kekuasaan Kehakiman. Melalui pemberitaan pers-lah masyarakat memperoleh informasi apakah jalannya proses peradilan telah dilaksanakan sebaik-baiknya dan sebagairnana seharusnya.
Oleh karena itu, kebebasan pers itu membawa implikasi sebagai lembaga kontrol tapi juga sekaligus sebagai lembaga yang memberi informasi secara benar, akurat dan tidak berpihak pada masyarakat tentang kinerja badan-badan peradilan. Batasan atau rambu-rambu yang harus diperhatikan adalah bahwa pemberitaan-pemberitaan pers haruslah bersifat informatif dan sekalipun mengandung analitis, haruslah dihindari pemberitaan yang sudah bersifat dan mengarah kepada "trial by the press". [5]
A.      Pers mengangkat dan mengaktualkan kasus-kasus besar hukum, seperti:
a.       Kasus BLBI
b.      Kasus Bank Century
c.       Kasus MA versus BPK
d.      Kasus ’Cicak-Buaya’
e.       Kasus Susno Duadji
f.       Kasus Markus Pajak
g.      Kasus Lapindo
Selain itu ada banyak kasus-kasus HAM, seperti yang terkait dengan:
a.       Pelanggaran Hak-hak Politik dan Keamanan Rakyat
b.      Hak-hak Ekosob
c.       State Security
d.      Human Security

B.       Peran Pers  Dalam Pemberantasan Korupsi
1.      Peran Pers Dalam  Pengawasan Internal  Aparat Penegak Hukum
a.         pengawasan internal dimaksudkan untuk menangani potensi kerawanan / kelemahan pada suatu organisasi aparat birokrasi
b.         media dapat menginformasikan potensi rawan penyimpangan pada setiap unit organisasi aparat penegak hukum kepada instansi ybs utk diperbaiki / ditindaklanjuti dan masyarakat utk menghindari
c.         media dapat mendorong unit organisasi aparat penegak hukum  untuk mencari solusi pemecahan masalah melalui penyelenggaraan survey, seminar, lokakarya serta pembahasan potensi masalah dalam suatu rubrik berkala
2.      Peran Pers  Dalam  Pengaduan Masyarakat
a.         pers dapat memberi peluang dimuatnya pengaduan masyarakat (suara pembaca, rubrik masalah tertentu)
b.         pers dapat memperjelas pengaduan masyarakat dg perhatikan delik pers & kode etik jurnalistik
c.         pers dapat membantu memperoleh alat bukti ( barang bukti pendukung )
d.        pers menyajikan fakta nyata, bukan opini agar tidak memicu terjadinya friksi bahkan konflik kepentingan
e.         pers dapat memberikan giudance tentang bagaimana melaporkan korupsi kepada aparatpenegak hukum bahkan pers dapat memfasilitasi pelaporan tersebut
3.      Peran Pers  Dalam  Pengaduan Masyarakat Peran Pers  Dalam Pencegahan Korupsi
a.         pers dapat membantu mendeteksi potensi masalah penyebab korupsi dan kerawanan korupsi melalui survai, pooling pendapat, investigasi jurnalistik, dll
b.         pers dapat menginformasikan perkembangan kondisi kerawanan korupsi dan potensi masalah penyebab korupsi termasuk pola antisipasinya
c.         pers dapat memberikan alternatif solusi pemecahan masalah kerawanan korupsi dan potensi masalah penyebab korupsi melalui rubrik pemberantasan korupsi & kegiatan ilmiah anti korupsi
d.        pers dapat menjadi sarana pendidikan masyarakat anti korupsi  dan mendorong terciptanya budaya taat pada hukum
4.      Peran Pers  Dalam Penindakan Korupsi
a.         pers dapat membantu dan mendorong proses penyelidikan kasus korupsi
b.         pers dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan kasus korupsi pada bidang pelayanan publik (pelaku dan korbannya massal)
c.         pers dapat memelihara kelurusan proses penyidikan kasus korupsi
d.        pers dapat menyajikan fakta yuridis dari fakta persidangan dan opini publik untuk penanganan kasus-kasus berikutnya peran pers  dalam penindakan korupsi
5.      Eliminasi Dampak Negatif Penyiaran Dalam Pemberantasan Korupsi
a.         evaluasi dan penataan kembali aturan yang kurang sinkron dg aturan lain (utamanya ham dan rasa keadilan masyarakat)
b.         pemahaman melalui sosialisasi dan pelaksanaan ketentuan pers sehingga mampu mewujudkan rasa kepastian hukum dan keadilan masyarakat
c.         pemantapan kompetensi dan integritas insan pers untuk berperan serta dalam pemberantasan korupsi di negeri ini untuk mewujudkan rasa aman masyarakat
d.        reward and punishment atas keberhasilan pers dan pelanggaran aturan pers secara proporsional dan konsisten eliminasi dampak negatif penyiaran dalam pemberantasan korupsi[6]

C.      Peran Pers dalam Penegakan HAM
Lepas dari masih adanya kemungkinan distorsi atas kemerdekaan pers sekalipun konstitusi dan UU Pers telah menjamin hal itu sepenuhnya di samping di sana-sini masih ada "ranjau-ranjau Pers" serta UU yang perlu disinkronisasikan dengan kemerdekaan pers, maka pengaturan prinsip-prinsip HAM secara lebih rinci, jelas dan lengkap dalam konstitusi dapat membantu Pers menunjang pemajuan dan perlindungan HAM. Pada sisi lain, pengaturan HAM yang lebih lengkap seperti itu sangat membantu Pers mengontrol pelanggaran HAM sekaligus mencegah secara lebih dini jangan sampai terjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai HAM.
Akan tetapi berdasarkan pengalaman, efektivitas Peran Pers dalam menunjang pemajuan dan perlindungan HAM hanya dapat dilakukan apabila Pers terus menerus meningkatkan dirinya sebagai Pers yang bermartabat dan profesional. Hanya dengan cara ini efektivitas Peran Pers dalam menunjang kemajuan dan perlindungan HAM dapat diwujudkan.
Untuk itu, paling tidak ada tiga pilar utama yang menjadi acuan atau pegangan pokok para wartawan supaya berhasil dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya.
Ketiga pilar utama dimaksud disebut di bawah ini:
a.     Norma etik
Seperti diketahui, kode etik adalah rambu-rambu, kaidah penuntun sekaligus pemberi arah kepada para wartawan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tentang apa yang seharusnya tidak dilakukan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Sebagai kode perilaku mengenai yang baik dan yang buruk akan sangat membantu para wartawan dalam menunaikan tugasnya dengan baik.
Oleh karena itu kita sependapat dengan tokoh pers nasional almarhum Mahbub Djunaedi yang mengatakan, kode etik jurnalistik dibuat untuk menghindari wartawan menjadi teroris. Pendapat tokoh pers nasional ini sangat aktual dan relevan dikemukakan mengingat akhir-akhir ini ada tuduhan sementara kalangan masyarakat yang mengatakan media tertentu telah mempraktekkan apa yang disebut "jurnalisme anarki", "jurnalisme teror", "jurnalisme provokasi", "jurnalisme pelintir" dan lain-lain citra negatif yang sangat menyudutkan pers.
b.    Norma hukum
Akan tetapi dalam praktek ternyata pilar utama kode etik saja tidak cukup. Mutlak diperlukan pilar utama kedua yaitu norma hukum. Sebab sekalipun wartawan telah menjalankan tugasnya sesuai kode etik, namun tetap saja tidak lepas dari jeratan hukum apabila tidak mengindahkan norma hukum.
Memang seperti diketahui, norma etik dan norma hukum sangat erat kaitannya. Sebab hal-hal yang dilarang oleh norma etik juga dilarang oleh norma hukum. Demikian sebaliknya, hal-hal yang dilarang oleh norma hukum juga dilarang oleh norma etik. Meski demikan perlu dicatat norma etik dan norma hukum tidak identik. Karena bisa terjadi dalam keadaan darurat atau  force majeure dan dalam keadaan membela diri dapat mencelakai atau menghilangkan nyawa orang lain, tapi secara hukum dapat dimaafkan. Namun tindakan itu tetap saja tidak dapat dimaafkan menurut norma etik.
c.     Profesionalisme
Ternyata dalam praktek, pilar utarna norma etik dan norma hukum saja tidak sepenuhnya menjamin terlaksananya tugas-tugas jurnalistik para wartawan dengan baik. Sebab selain mengacu pada pilar utama norma etik dan norma hukum, mutlak diperlukan profesionalisme. Yaitu keterampilan atau keahlian serta kemampuan yang prima bagi para wartawan untuk mengemas, meramu dan mengolah informasi sedemikian rupa sehingga dapat dicerna dan diterima oleh khalayak dengan baik, tidak terkontaminasi oleh opini pembuat berita dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan kenyataan.[7]

BAB III
PENUTUP

Pers di Negara demokrasi sangat besar perannya dalam pengawasan penegakan hukum. Dalam kaitan dengan peranan dan fungsi pers ini, haruslah kita pahami bahwa memang dalam penegakan Negara Hukum dibutuhkan adanya pilar atau komponen pers yang bebas tetapi yang juga harus berada dalam rambu-rambu akuntabilitas dan transparansi.
Apalagi dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli yang  dianggap sebagai amunisi yang diberikan oleh Mahkamah Agung kepada kalangan pers. (SEMA itu) adalah sebuah amunisi atau penguat bagi pers di hadapan hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
MA menyarankan kepada para hakim untuk meminta keterangan dari ahli di bidang pers. Dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, hendaknya majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek.
Akhirnya, pengawasan oleh media pers merupakan alternatif yang  teramat penting sebagai motor penggerak  pressure group  bagi penegakan hukum dan HAM. Namun perlu disadari bahwa media pers bukan institusi problem solving.
Tapi juga harus dipahami bahwa dunia pers harus menaati kaidah hukum dan KEJ guna menghindari terjadinya perbuatan melawan hukum untuk meningkatkan kepercayaan kepada masyarakat yang hingga kini masih memberi perhatian terhadap informasi media.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Prof. Adji, Oemar Seno,S.H. 1997. Mass Media dan Hukum. Erlangga : Jakarta
Muis, A. 1996. Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi, Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers, Jakarta: Mario Grafika
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang P E R S
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli

0 komentar:

Posting Komentar