Minggu, 04 Desember 2011

Resentralisasi Guru

[JAKARTA] DPR  mendukung niat pemerintah untuk melaksanakan resentralisasi pengelolaan guru. Pada praktik di lapangan, sistem desentralisasi guru dinilai menimbulkan banyak persoalan terutama untuk profesionalisme guru.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi X DPR Rully Chairul Azwar saat dihubungi SP di Jakarta, Kamis (1/12). "Untuk perbaikan dan mengembalikan fungsi guru sebagai profesi, jangan ragu-ragu untuk resentralisasi," kata Rully yang merupakan wakil rakyat dari Fraksi Partai Golkar.

Dia menyebutkan, sejumlah akibat dari desentralisasi guru di era otonomi daerah (otda). Pertama, tidak ada standar kualifikasi yang jelas dari daerah untuk merekrut guru, sehingga mutu guru tidak sama di setiap daerah. Daerah cenderung menyamakan pola perekrutan PNS dengan perekrutan guru, sehingga jarang ada guru berkualitas.

Kedua,  kewenangan daerah untuk mengangkat guru honorer mengakibatkan "bom waktu" bagi pemerintah pusat. Sebab, para guru honorer akhirnya menutut diangkat sebagai guru PNS, padahal keuangan negara belum tentu cukup untuk pengangkatan PNS.

Ketiga, jumlah guru yang banyak di daerah bisa dipakai untuk kepentingan politik kepala daerah. Keempat, terjadi gap atau kesenjangan jumlah guru antara desa dan kota. Era otda menghambat distribusi guru dari suatu daerah ke daerah lain, sehingga terjadi penumpukan guru di satu daerah, namun kekurangan guru di daerah lain.

Kelima, terjadi miss match atau ketidakcocokan antara kualifikasi guru dengan mata pelajaran yang diajarkan.
"Padahal jumlah total guru sebenarnya cukup tapi masih banyak daerah kekurangan guru seperti daerah perbatasan atau terpencil masih kurang guru untuk mata pelajaran tertentu," kata Rully.

Menurutnya, aturan resentralisasi guru tidak perlu menunggu revisi UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur soal otda, namun presiden cukup mengeluarkan peraturan pemerintah. "Kalau menunggu revisi bisa lama, karena susahnya revisi UU 32/2004 harus dilakukan oleh Komisi II," ujar Rully.

Senada dengan itu, kepada SP, anggota Komisi X dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tb Dedi Suwandi Gumelar mengatakan, usulan resentralisasi guru sudah diungkapkannya sejak lama. Guru, ujarnya, sebagai komponen utama perubahan pendidikan banyak mengalami penurunan mutu.

Tindakan Gegabah
Secara umum, Dedi berpendapat pemberlakuan otda terhadap pendidikan merupakan tindakan gegabah. Pendidikan, tidak hanya unsur guru, seharusnya diatur oleh pemerintah pusat seperti lima bidang lainnya, yakni politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama.

"Ketika pengelolaan pendidikan belum baik kemudian diotonomkan, akan kacau, padahal itu basis bangsa. Misalnya, penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) atau penyusunan dana alokasi khusus (DAK) pendidikan. Amanat UU agar daerah mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen juga tidak terealisasi," tandasnya.

Dedi juga mengkritik pola pendidikan guru yang membuka kesempatan guru dari berbagai disiplin ilmu. Berbeda dengan dulu, yakni adanya pendidikan khusus guru berupa Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Guru masa kini hanya mampu memberikan pengetahuan, namun tidak memiliki ilmu pedagogi atau ilmu mendidik yang matang.

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma juga berharap urusan guru bisa diatur oleh pusat sehingga tidak dijadikan "mainan" oleh Bupati/wali kota. Dia mengungkapkan, banyak kasus guru dipindahkan sewenang-wenang, karena tidak sesuai pendapat kepala daerah.

Satria juga meminta pemerintah pusat memikirkan secara matang penerapan resentralisasi di lapangan."Bisa terjadi tarik ulur, karena praktiknya tidak semudah itu. Misalnya, belum tentu semua guru mau dipindahkan ke lokasi yang kurang guru," katanya. [C-5]

Suarapembaruan.com, 02 Desember 2011

0 komentar:

Posting Komentar